Senin, 13 Desember 2010

Dan Ia pun Mulai Membaca

Gadis itu selalu senang membaca.

Ia senang membaca buku, koran, majalah, iklan, papan iklan, atau bahkan papan nama jalan. Ia jatuh cinta dengan huruf dan kata-kata, serta makna yang hadir dengan aneka konteksnya.
Baginya membaca bagai menyelami lautan. Berenang-renang di lautan kata, mereguk indahnya kedalaman makna, dan menemukan kepingan pazel yang mengantarkannya pada inti. Pusat pemikiran si penulis yang membuatnya menjalin kata-kata.

Keping pazel itu tak selalu mudah ditemukan. Kerap kali si gadis menghabiskan waktu berselancar di internet, membuka-buka tumpukan dokumen di perpustakaan, demi mencari tahu sejarah penulis buku yang tengah dibacanya. Ia ingin tahu masa kecil mereka, pendidikan mereka, pendidikan orangtua mereka, pekerjaan orangtua mereka, tingkat sosial ekonomi mereka, peristiwa apa yang tengah terjadi saat itu, hobi mereka, buku-buku yang mereka baca saat remaja, gangguan psikologis yang mungkin dialami mereka—dan jika ada, bagaimana mereka mengatasinya—juga, kenapa mereka menulis buku yang tengah dibacanya. Apa yang mengganggu benak mereka, pesan apa yang tersirat di dalamnya, yang membuat mereka terjaga bermalam-malam merangkai kata menyampaikan pesan.

Identifikasi. Mungkin gadis itu tengah mengidentifikasi diri melalui buku-buku yang dibacanya. Mungkin. Atau mungkin juga, ia hanya sangat menyukai permainan pazel. Pun itu hanya berupa pazel rekaan di kepala. Apapun itu, ia tahu, ia butuh waktu tenang yang panjang untuk membaca.

***
Pada suatu masa, membaca adalah kebutuhan pokok baginya. Ia membaca dimanapun. Di kereta, di bus, saat bangun tidur, saat akan tidur, saat menunggu di ruang tunggu dokter, saat menunggu jadwal wawancara dengan narasumber—kapanpun ada waktu luang, pun itu hanya tiga menit.

Tapi tentu saja, selalu terjadi perubahan. Manusia berubah, peran dan tanggung jawab seseorang bertambah, dunia berubah.

Ia berubah.

Kini pagi harinya tak lagi bisa diisi dengan duduk-duduk tenang mendengarkan siaran radio pagi. Semua beralih dengan rutinitas harian putri dan putra mungilnya: menyusui-mengajarkan toilet training-menyiapkan sarapan-menyuapi-memandikan-menyusui-ngeloni-menghapal doa dan surat pendek-berkegiatan bersama. Dan selalu ada pekerjaan untuk dilakukan saat anak-anaknya terlelap: memasak, membungkusi paket, menelepon, menerima panggilan telepon, mengurus dokumen, merapikan tempat tidur, mengirim paket, hunting buku, brunch, makan siang, mengirim e-mail, membalasi PM, memperbarui katalog buku online di web, merapikan lemari pakaian, mengangkati jemuran, mencuci piring, mengkategorisasi mainan dan bahan prakarya, merapikan apapun yang perlu dirapikan.

Atau bahkan, sekedar menghela napas dan merapal mantra.

***

Aktivitas membaca buku pun naik pangkat jadi kebutuhan mewah bagi si gadis. Koran, majalah, ulasan buku, tulisan di blog: ini masih bisa dilahapnya. Namun untuk sungguh-sungguh membaca sebuah novel atau memoar, sungguh-sungguh menyelam di dalamnya, sungguh-sungguh mengumpulkan setiap keping pazel dan pertanda untuk melengkapi teka-teki dan pertanyaan di kepala, sungguh kemewahan tiada tara bagi si gadis.

Adaptasi. Kompromi. Negosiasi. Itulah yang kemudian dilakukan si gadis. Saat ia akan menjalankan semua rutinitas dan tanggung jawab harian, sampai waktu mengantarnya pada pukul 24.00. Saat telah terlalu malam untuk membuat kesalahan, mengecewakan seseorang ataupun menyelesaikan pekerjaan. Dan saat ia benar-benar sendirian, dengan waktu yang sungguh-sungguh untuknya. Miliknya.

Sungguh waktu yang tepat untuk membaca. Menyelami lembar demi lembar dunia kata dan makna, ikut menghirup, mencecap, tertawa dan menari berputar-putar merayakan kebebasan jiwa bersama para tokoh dalam buku bacaannya. Sampai ia kelelahan menari, dan terlelap dini hari.

Dan saat seseorang bertanya, “Kenapa kamu mau berpayah-payah hanya demi membaca?”, sambil tersenyum, si gadis menjawab:
"Karena saya pantas mendapatkannya. Karena saya berhak untuk terus belajar, untuk terus bercermin diri, untuk selalu menanami kepala dan jiwa saya dengan hal-hal yang membuat saya menjadi lebih baik sebagai manusia. Karena saya punya nama, pikiran, dan jiwa saya sendiri, yang terus bertumbuh. Dan di atas segalanya, karena saya begitu berharga."

0 komentar:

Posting Komentar