Kamis, 24 Oktober 2013

99 Cahaya di Langit Eropa, Suatu Perjalanan Cinta


Judul: 99 Cahaya di Langit Eropa, Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
Penulis: Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 412 halaman
 =================================
“Sudah terlalu banyak buku traveling sebelumnya, terutama tentang Eropa dan segala keindahannya, yang hadir. Bangunan-bangunan, tempat yang wajib dikunjungi berikut tip-tip perjalanan dan cara kreatif untuk berhemat, semua dikemas untuk pembaca. Tapi buat saya sendiri, hakikat sebuah perjalanan bukanlah sekadar menikmati keindahan dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekadar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya.
Menurut saya, makna sebuah perjalanan harus lebih besar dari itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan hijrah Nabi Muhammad saw. Dari Mekkah ke Medinah.” (h. 6-7)
Begitulah prolog yang ditulis Hanum dalam buku ini, tentang perjalanannya menjelajah Eropa untuk menapaki jejak-jejak kebesaran peradaban Islam.
Suatu perjalanan cinta.

Cinta yang Pemaaf
Perjalanan cinta ini bermula dari Austria. Di sana, Hanum sempat tinggal bersama suaminya, Rangga Almahendra dan bekerja untuk proyek video podcast Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Dia juga tercatat sebagai koresponden detik.com untuk kawasan Eropa dan sekitarnya. Sementara Rangga memenangi beasiswa dari Pemerintah Austria untuk studi S3 di WU Vienna.
Saat mengikuti kursus Bahasa Jerman, Hanum berkenalan dengan para muslim dan muslimah luar biasa. Salah satunya Fatma Pasha. Imigran Turki berusia 29 tahun itu adalah seorang ibu rumah tangga dengan satu anak. Dari Fatma, Hanum mengenal keindahan Kahlenberg dan istana Schoenbrunn. Bersama Fatma, Hanum mengunjungi restoran Der Wiener Deewan yang memiliki slogan ‘All You Can Eat, Pay As You Wish’, museum Kota Wina dan belajar tentang sejarah Kara Mustafa Pasha. Panglima perang Dinasti Turki inilah yang kisahnya membuka buku 99 Cahaya di Langit Eropa (Overture, h. 10-18). Dan bersama Fatma pulalah, Hanum pernah menanam mimpi menjelajah Eropa bersama, untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran Islam (h. 97-98)
Dari Fatma, Hanum belajar untuk memulangkan niat pada hati saat mereka terpaksa berlindung di dalam gereja Saint Joseph karena kedinginan (h. 34-36). Dinding rumah Fatma yang bercita-cita menjadi agen muslim yang baik di Eropa, berhiaskan aneka kaligrafi serta tempelan kertas bertulisan ‘Syiar Muslim di Austria: 1. Tebarkan Senyum Indahmu, 2. Kuasai Bahasa Jerman dan Inggris, 3. Selalu Jujur dalam Berdagang.’
Syiar Muslim yang juga dipraktikkannya dengan cara menahan diri dan memaafkan penghinaan. Saat tiga orang turis di kafe yang mereka datangi menjelek-jelekkan Islam dan Turki, Fatma malah mentraktir tiga turis itu dan menitipkan selembar kertas berisi perkenalan dan alamat e-mailnya lewat pelayan.  "Yang kuat menahan diri, mengalah bukan karena kalah, tetapi mengalah karena sudah memetik kemenangan hakiki. Membalas olok-olok bukan dengan balik mengolok-olok, tetapi membalasnya dengan memanusiakan si pengolok-olok, membayari penuh seluruh makanan dan minuman mereka." (h. 48)

Cinta yang Welas Asih
Perjalanan jatuh cinta Hanum dan Rangga berikutnya adalah Vienna Islamic Centre. Berlokasi di tepi Sungai Danube yang kerap menjadi tempat orang sun-bathing, Hanum sempat merasa masjid ini salah pemilihan lokasi. Namun Imam Hashim—imam masjid itu, kemudian menunjukkan daftar nama mualaf. Beberapa diantaranya adalah orang-orang yang senang berjemur dan menikmati suasana musim panas di tepi Sungai Danube. “…siapa yang pernah menyangka suara azan yang sayup dan samar, juga ikamah bisa menggetarkan hati dan perasaan orang yang ber-sun bathing di rerumputan Danube?” (h. 118)
Imam Hashim berujar: “Hidayah turun tak pernah tahu di mana dan bagaimana. Tidak semua orang yang mengucap syahadat mendapatkannya saat di Sungai Danube. Banyak cara dan jalan ketika hidayah itu muncul, lalu meresap ke dalam hati dan jiwa.” (h. 118)
Seperti yang dialami Marion Latimer. Wanita yang pernah kuliah di Universitas Sorbonne bidang Studi Islam Abad Pertengahan ini menulis via e-mail pada Hanum “Paris tak hanya tentang Eiffel atau Louvre. Lebih dari dua bangunan ‘kecil’ itu. Aku menemukan imanku di sini.” (h. 122)
Bersama Marion, Hanum berdiskusi tentang fragmen drama karya Voltaire, representasi malaikat Mikail dalam berbagai agama, serta belajar mengenal Kufic—seni kaligrafi Arab kuno. “Tak terbaca dengan pengetahuan biasa. Sekilas hanya seperti coretan Arab yang tak ada artinya. Tapi ini sebuah misi dakwah yang luar biasa. Para kalifah Islam senang mengirim cendera mata dengan pesan puitis dengan dekorasi Kufic seperti ini kepada raja-raja Eropa yang kebanyakan menganut Katolik Roma.” (h. 155).
Tak hanya ditemukan di piring-piring cendera mata, Kufic ini juga bisa ditemui pada lukisan Bunda Maria dan Yesus (The Virgin and the Child: Ugolino di Nerio 1315-1320) serta mantel pengangkatan Raja Roger dari Sisilia, Italia. Mantel yang kini tersimpan di Museum Harta Kerajaan, Istana Hofburg, Wina, Austria.
Bersama Marion pula, Hanum mengunjungi Le Grande Mosquee de Paris atau Masjid Besar Paris. Masjid yang dibangun untuk mengenang ratusan ribu tentara muslim yang gugur saat membela Prancis era Perang Dunia I ini dilengkapi kafe, restoran, sekolah dan lembaga teologi Islam. “Hal ini disengaja karena sebenarnya dari masjid dikenal 
sebagai tempat menyebarkan ilmu pengetahuan, bukan semata-mata tempat beribadah.” (ujaran Marion, h. 191).
Masjid ini pulalah yang menyelamatkan ratusan orang Yahudi. Marion menjelaskan “Paris pernah jatuh ke tangan Hitler dan mereka mulai menangkapi para Yahudi di Paris. Salah satu imam masjid ini mengambil risiko menyembunyikan ratusan Yahudi dalam masjid, lalu dia membuatkan identitas palsu bagi mereka agar lolos dari perburuan tentara SS Nazi.” (h. 192). Penjelasan yang membuat Hanum merenung “Aku merasa imam masjid ini, siapapun dia, juga mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang-orang yang sama sekali tak ada hubungan dengan dirinya. Namun dia yakin dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an tentang kewajiban menyelamatkan jiwa umat manusia yang lain apa pun agama mereka, apa pun kepercayaan mereka.” (h. 193)  
  
Cinta yang Toleran
Perjalanan cinta berikutnya kembali mempertemukan Hanum dengan Fatma, yang sempat pindah dari Wina dan lenyap tanpa kabar. Pada Fatma, Hanum menceritakan pengalamannya mengunjungi Mezquita di Cordoba. Masjid yang kini berubah menjadi gereja. Ukir-ukiran kaligrafi di sana dicongkel dan dihapus dan mihrabnya dijeruji. “Sungguh, aku tahu tidak ada niat sejarah untuk menunjukkan siapa mengalahkan siapa. Atau siapa lebih kuat dari siapa. Namun tak bisa dimungkiri, bagiku dan bagi umat Islam di dunia, sejarah bangunan ini memang sangat menyakitkan. Tapi mau apa lagi? Ini sudah suratan takdir…” (h. 265)
Di pintu keluar Mezquita, Hanum sempat bersujud sambil berdoa. “Aku berdoa mengucap shalawat Nabi seraya menyelipkan harapan, suatu hari nanti akan ada muslim kaya yang dilebihkan rezekinya di dunia ini bisa membeli kembali situs sejarah ini. Menjadikannya rumah-rumah ibadah bagiku lagi, merobohkan jeruji-jeruji di mihrab tadi, mengembalikan kalimat-kalimat utuh yang suci, dan mengirimkan seorang muazin setiap 5 kali sehari untuk mengundang shalat dari atas minaret. Namun semua itu harus dilakukan tanpa mengusik keberadaan altar yang menjulang tinggi di tengah-tengahnya…Mungkinkah itu?” (h. 266)
***
Kondisi yang berbeda dengan Hagia Sophia di Istanbul. Katedral Byzantium terbesar di Eropa ini sempat menjadi masjid. Meski memajang kaligrafi Allah, Muhammad, serta kalimat-kalimat ayat suci, bangunan ini tetap membiarkan lukisan-lukisan Yesus dan Maria serta elemen-elemen kekristenan di sana. “Ketika Konstantinopel kemudian jatuh ke tangan kekhalifahan Islam, Sultan Mehmed sang penakluk Byzantium hanya memplester semua ikon Kristen itu, tapi tidak menghancurkannya. Dia hanya menutupnya dengan kain sehingga tak terlihat ketika umat Islam beribadah. Bahkan kemudian Sultan Abdulmajid membuka plester itu dan melukis kembali semua mosaic dan fresco yang ada di Hagia Sophia agar kembali seperti aslinya.” (h.335).
Hanum menuliskan “Tulisan Allah, Muhammad, dan Allahu Akbar berwarna emas menggantung di empat sudut medallion. Dan yang membuat hati ini berdesir adalah karena medalion-medalion itu juga mengapit gambar Bunda Maria yang tengah memangku bayi Yesus.” (h. 336).

Jatuh Cinta Lagi, dan Operasionalisasi Konsepnya
Membaca buku ini sungguh membuat saya jatuh cinta lagi pada Islam. Browsing aneka fakta dalam buku ini, seperti penjelasan Marion tentang bangunan yang menggambarkan hijab di tengah Cour Visconti, Museum Louvre. Saat buku ini ditulis, bangunan itu belum rampung. Namun saya temukan di sini, bangunan bernama A Pocket Handkerchief tersebut sudah jadi.
Operasionalisasi konsep jatuh cinta ini juga membuat saya memetakan kembali prioritas keluarga kami dan jadwal harian anak-anak. Berusaha meneladani Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah maupun akhlak. Misalnya, dengan memberi susu untuk kucing-kucing di jalan, kue untuk para semut, bersikap lembut pada tetangga nonmuslim, dan lain-lain. 

Kesadaran ini juga membuat kami memetakan kembali rencana field trip, daftar bacaan, hingga rencana saat Ramadan kelak. Insya Allah kami ingin mengajak anak-anak mengunjungi masjid-masjid bersejarah di Jakarta, serta mengajak Hana (3,5 tahun) dan Fatih (1,5 tahun) untuk ikut tarawih di masjid saat Ramadan. Sementara suami tarawih, insya Allah saya akan menjaga anak-anak di pelataran masjid. Nanti sepulangnya dari masjid, baru saya menunaikan shalat tarawih.  Semoga ini bisa menjadi langkah awal mendekatkan anak-anak kami pada masjid dan Ramadan, aamiin.
Mengutip ujaran Fatma Pasha: “Sekarang ini anak-anak makin melupakan sejarah agama. Aku ingin suatu saat nanti, dari awal kedatangan di dunia ini seluruh anak muslim tahu, tiada kebanggaan yang berarti kecuali menjadi muslim. Aku ingin mereka lahir sebagai muslim karena mereka memahami, meresapi, mengenal, menyentuh, merasakan, dan mencintai Islam, bukan karena paksaan orang lain. Dan aku ingin mereka tahu bahwa dalam setiap waktu, dalam masa depan mereka, mereka akan menemui orang-orang yang berbeda dalam hal kepercayaan, bahasa, dan bangsa. Aku akan mengajarkan pada mereka bahwa perbedaan terjadi bukan karena Tuhan tidak bisa menjadikan kita tercipta sama. Menciptakan manusia homogen itu bukan perkara sulit untuk-Nya. Itu semua terjadi justru karena Tuhan Mahatahu, jika kita semua sama, tidak ada lagi keindahan hidup bagi manusia. Jadi nikmatilah perbedaan itu.” (h. 368)
Harapan saya: semoga anak-anak kami bisa mencintai Allah, Rasulullah Saw, serta Islam dengan sebenar-benarnya. Memaknai ibadah sebagai kebutuhan, bukan rutinitas kewajiban. Bisa mensyukuri segala kemudahan beribadah di Indonesia yang mayoritas muslim dan bukannya menerima begitu saja sebagai sesuatu yang taken for granted. Dan sungguh saya berharap, anak-anak kami bisa melihat Cinta itu dimana-mana, sebagai wujud kebesaran dan kasih sayang Allah Swt.
Seperti ujaran penulis Tere Liye: “Tidakkah kita jatuh cinta? Kita bisa jatuh hati pada orang yang terus-menerus memberikan kebaikan.  Sekeras apapun batu itu, tetap berlubang oleh tetes air terus-menerus. Padahal, apalah arti tetes air kecil dibanding batu. Kita bisa jatuh hati pada orang yang terus menerus peduli pada kita. Sesulit apapun meruntuhkan gunung perasaan, satu per satu dicungkil badannya, pasti akan rubuh pula gunungnya. Kita jatuh hati karena itu, bukan?
Lantas, apakah kita tidak jatuh hati pada yang maha pemberi kebaikan, duhai, setiap hari diberi oksigen untuk bernafas, air minum untuk melepas dahaga, kesehatan, dan tak terhitung nikmat lainnya.
 Lantas, apakah kita tidak jatuh hati pada yang maha terus-menerus peduli, aduhai, setiap hari kita dijaga dari marabahaya, dilapangkan jalan, dijauhkan dari penghalang, dan tak terhitung kepedulian lainnya, siang dan malam.
Tidakkah kita jatuh hati pada Rabb kita?
 ***

0 komentar:

Posting Komentar