Sabtu, 18 Desember 2010

Senangnya Ikut Workshop Online Menulis Cernak di Blogfam!

Beberapa tahun lalu kala mendapat pertanyaan tentang cita-cita, saya pernah menjawab "Ingin menjadi seorang penulis cerita anak dan tinggal di Yogya." Karena bagi saya, menulis cerita anak justru memiliki kerumitan dan tantangan tersendiri. Tak hanya harus mampu menyederhanakan kalimat dan ide, namun juga harus kreatif dan imajinatif. Saya percaya, "Seorang jenius bukanlah seseorang yang mampu memahami hal-hal rumit, melainkan seseorang yang mampu menyederhanakan hal-hal rumit."

Senin, 13 Desember 2010

Rencana Sempurna

Hidup Anna serupa matematika. 

Butuh tiga belas menit untuk menyiapkan sarapan. Dua puluh tujuh menit untuk mengisap debu dan mencuci piring. Empat hari untuk menyamarkan luka dan memar pukulan suaminya, Tn. Harvest. 

Dan butuh tiga puluh menit untuk arsenik bekerja. 

***
Sudah lewat tiga jam dari waktu pulang suaminya. 

Butuh tujuh menit bagi Anna untuk tampak gelisah. Ia sengaja berjalan mondar-mandir. Sesekali, ia mengembuskan napas dengan cepat dan menggigiti kuku. Ketika telepon berdering, suara Anna sudah terdengar cemas. 

“Nyonya Harvest, kami dari kepolisian. Suami Anda ditemukan tewas tertabrak di jalan tol. Bisakah Anda datang untuk memberikan keterangan?” tanya suara di ujung telepon.

Di dalam kepalanya, Anna tersenyum. 

Alibinya sudah siap. 


banner-juara-1-lomba-FF

Sup Daging Istimewa

Aroma sedap menguar dari panci Jamie. Tangkai sendok sayur Jamie menari-nari. Sesekali sendok sayur menekan-nekan daging, memastikannya empuk. Sambil bersiul-siul, Jamie menambahkan sentuhan terakhir. Taburan bawang goreng. 

Jamie tersenyum puas. Supnya matang sudah.

***
Nyonya Mills tengah menonton opera sabun di televisi, saat Jamie mengetuk pintu apartemennya.

“Sup daging istimewa untuk Nyonya Mills!” sapa Jamie riang.

Mata Nyonya Mills menyipit. 

“Oh kau, Jamie. Dagingnya tampak segar. Kau baru belanja?” 

Jamie hanya tersenyum. Senyum ganjil yang luput dari penglihatan rabun Nyonya Mills.

Dengan dahi berkerut, Nyonya Mills mengingat-ingat “Omong-omong Jamie, sudah tiga hari aku tak melihat ayahmu. Apa dia keluar kota lagi?”  

Seulas senyum ganjil kembali terukir di wajah Jamie.

Topeng

Bruno melahap potongan daging terakhir di piringnya.

“Anjing pintar," saya menepuk-nepuk kepalanya. 

Kini, tinggal dua puluh tiga bagian tubuh gadis itu yang tersisa.

***
“Mobil dan supir sudah menunggu di luar, Nyonya,” ujar Yves, kepala pelayan.

“Bagus. Tolong ambilkan mantel bulu. Segera bereskan koper dan barang-barang Clara. Gadis yang merepotkan, menghilang tanpa kabar. Dengan pelayan penggantinya, kau harus lebih hati-hati, Yves.”

Wajah Yves menunduk dalam-dalam. “Ya, Nyonya.”

“Oh ya, jangan lupa beri makan Bruno. Di dalam lemari es, ada plastik-plastik hitam. Ada dua puluh tiga plastik. Ambil satu, kuahi dengan gulai hati sapi kesukaan Bruno.”

“Baik, Nyonya.”

Sekilas, mata saya menangkap sosok gadis berseragam naik tangga.

"Bruno, apa dia pengganti Clara?"

"Benar, Nyonya."

Hmm, muda dan sehat. Dagingnya pasti segar.

Sempurna. 

Hitung-menghitung Ongkir

Mengelola toko buku online membuat saya akrab dengan ongkos kirim (ongkir). Sejauh ini, dua jasa pengiriman yang paling banyak saya gunakan adalah JNE dengan tarif OKE (Ongkos Kirim Ekonomis) dan Pos Indonesia. Alternatif lainnya: Wahana, Pahala, TIKI, DEX (khusus Jakarta) dan jasa pengiriman lain yang tercantum di bawah ini. 

Kala Yusuf Mansyur Mencari Tuhan yang Hilang

“Ketika mereka melupakan apa-apa yang Kami peringatkan kepada mereka, justru Kami bukakan pintu segala kesempatan buat mereka. Maka kemudian ketika mereka merasa senang, merasa gembira, dengan keberhasilan, kesuksesan mereka, tiba-tiba Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, jadilah mereka terdiam berputus asa.” (Al An’am: 44)

(Puisi) Yang Tersisa


Dan yang tersisa adalah lantai halaman Plasa yang kosong, dengan beberapa helai daun kering yang rontok dari pohon beringin tempat kita biasa bercengkerama. 

Dan yang tersisa adalah lembar-lembar lapuk catatan hati, yang kita bagi saat masih gemar bermimpi di senja hari, berkejaran dengan matahari.

Dan yang tersisa adalah dinding, yang entah sejak kapan dia tercipta. Dinding yang tumbuh membatasi ruang hati, sementara kita hanya bisa meraba-raba ketebalan dan tingkat kedap suaranya.

Dan yang tersisa adalah lambaian selembar sapu tangan. Karena sejak dinding ini mendewasa, berarti waktunya kita kembali bertumbuh, berlomba-lomba menuju cahaya, meski dengan rute dan peta yang berbeda.

Dan yang tersisa adalah sebentuk ucapan terima kasih. Untuk kebersamaan yang hangat atas satu perjalanan menyenangkan dan memberikan banyak pelajaran.

Dan yang tersisa adalah doa, saat kita berpisah di persimpangan. Semoga Tuhan selalu menyertai setiap ayunan langkah.

Dan yang tersisa adalah Cinta, yang tak pernah pudar. Pun kita menua dan tiba waktunya tutup usia di belakang halaman rumah kita.    

(Puisi) Ruang Rindu UntukNya


Ruang rindu saya sederhana saja.

Hanya ada empat dinding bercat hijau warna surga. Dengan langit-langitnya berupa angkasa, tempat Dia menciptakan bulan, bintang, dan matahari, untuk kami pandangi bersama. 

Seperti pameran foto, pada ketiga sisi dinding ruang rindu saya tergantung banyak foto berukuran raksasa. Mulai dari foto taman bunga terindah di dunia,  foto puncak gunung tertinggi di dunia, foto air terjun terderas di dunia, foto taman laut tercantik dan termegah di dunia, foto palung laut terdalam di dunia. Foto para makhluk hidup tercantik di dunia dengan wajah berkilauan cahaya, yang tengah tersenyum, tertawa, dan jatuh cinta. 

Semua foto tentang keindahanNya. Semua foto tentang kedalaman rasa cintaNya. Subhanallah.

Sambil menonton semua foto indah inilah, saya akan menyusuri selasar ruang rindu. Yang diudarai dengan pekat wangi aroma yang membuat saya tersenyum bahagia seketika. Mulai dari aroma tanah basah yang usai diguyur hujan, wangi aroma pie apel yang baru matang dipanggang tetangga, aroma wangi tubuh-tubuh bayi yang manis dan hangat. Sementara sayup-sayup musik melantunkan nada-nada termerdu di dunia. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan dengan sepenuh jiwa dan menggetarkan hati. Kicau burung. Rinai hujan. Desau angin. Denting piano. Gesekan biola. Celoteh bayi yang tengah belajar berkata-kata. Dan kemudian, mencerahkan dunia dengan tawa hangatnya. 

Sungguh-sungguh alunan musik termerdu dunia, subhanallah.

Sementara jari-jemari saya menggenggam santai secangkir Cinta yang masih hangat. Sesekali menyesap aroma manisnya, yang jauh lebih nikmat dari anggur terlangka di dunia. Namun tidak seperti anggur, Cinta ini sama sekali tak membuat keseimbangan tubuh saya limbung. Karena secangkir Cinta ini sama sekali tidak memabukkan. Menyesapnya perlahan-lahan justru makin membuka tirai kesadaran, menuntun tangan ke sebuah jalan yang bersimbah cahaya berkilauan. 

Ah, dan disinilah saya membangun sebuah ruang pribadi untukNya.
Tempat saya akan mengadu padaNya, bermanja padaNya, atau hanya sekedar bercengkerama denganNya.

"Kita bertemu, di ruang rindu..." (Ruang Rindu, oleh Letto)

(Puisi) Mungkin

Mungkin, 
Sekaranglah waktunya kita berhenti berlari
Berhenti menghitungi berapa ribu hari yang terlewati,
atau berapa langkah mimpi yang tertapaki
Untuk sejenak mengistirahatkan kaki,
Dan hati

Mungkin,
Sekaranglah waktunya kita berkenalan dengan jeda
Menutup telinga dari para sesuara,
Sejenak memejamkan mata,
Kembali menajamkan rasa,
Dan jiwa

Dan mungkin,
Mungkin sekaranglah waktunya kita duduk saja diam-diam,
Menarik napas dalam-dalam,
Mengunci lidah dari aneka celoteh dan gumam,
Untuk jatuh cinta, lagi dan lagi, pada senja yang temaram

I Believe in Gratitude

I have begun to teach Isabel the important things. Just as I thought my hija. Feel gratitude. That's what I told my little five-year-old cousin yesterday when she found a coin in the grass. Wrapped her fat fingers around a peso, eyes bright. Say thank you, I tell her, like this: I kneeled beside her, pretending the peso was inside my thight fist and I closed my eyes and filled my heart and kissed my fist long and firm like a mother who finds her lost child, like a father saying good-bye. She did it too. Thank who? That is not important.

Some people think I am religious.

I am not.

I believe in gratitude.

(Kissing the Virgin's Mouth, by Donna M Gershten; Winner of the Bellwether Prize for Fiction)

Definisi Kebahagiaan dan Kegembiraan


“Kegembiraan selalu memiliki objek, kau gembira karena sesuatu, kegembiraan adalah kondisi yang eksistensinya tergantung pada hal-hal eksternal. Kebahagiaan, sebaliknya, tidak memiliki objek. Ia menguasaimu tanpa alasan; bagai matahari ia membakar, dan bahan bakarnya berasal dari hati sendiri. Itulah sebabnya dibandingkan kebahagiaan, kegembiraan hanyalah bagaikan bohlam lampu..”


(Susanna Tamaro dalam  Va dove ti porta il cuore (Pergilah kemana hati membawamu))

What Scares Me Most


"...What I fear most are the thoughts that will be going through my mind moments before death. Did I take time to find beauty in objects and people? How many times did I change for the better? Did I take my intellegence to its full potential? Did I work hard? Did I always find time for those who needed me most? Are my children proud that I was their mother? Did I treat others as I hoped they would treat me? Did I fight for worthy causes? Did I take every precious moment of life and use it to its full potential, or did I let it slip away like it meant nothing?..."

Taken from: Every woman has a story, compiled by Daryl Ott Underhill.


If Nobody Speaks of Remarkable Things


If you listen, you can hear it
The city, it sings
If you stands quietly, at the foot of a garden, in the middle of a street, on the roof a house

It's clearest at night, when the sounds cuts more sharply across the surface of things, when the song reaches out to a place inside you

It's a wordless song, for the most, but it's a song all the same, and nobody hearing it could doubt what it sings
And the song sings the loudest when you pick out each note

Taken from: If Nobody Speaks of Remarkable Things, by Jon McGregor

Dari Baju Bekas sampai Toko Buku Online

Pukul 08.30 adalah salah satu waktu sibuk di Pasar Senen. Klakson angkot sudah ramai bersahutan, dengan teriakan para kenek yang berebutan penumpang di terminal. “Aqua, aqua, yang aus, yang aus,” teriak penjaja minuman sesekali terdengar. Sementara para pedagang baju bekas mulai membuka lapaknya di bahu jalan.

Pada Pagi Pertama Kau Pergi

* Terinspirasi dari puisi Mas Amril yang berjudul 'Jika Suatu Ketika Kita Tidak Bersama Lagi'
============================================================

Pada pagi pertama kau pergi, saya akan membuat kopi. Menambahkannya dengan 2 sendok gula dan 1,5 sendok susu, persis seperti kopi kesukaanmu. Menyeduhnya dengan air panas di dalam cangkir biru favoritmu. Menghirupnya dalam-dalam, membayangkan perasaanmu saat kopi hangat ini mengaliri tubuhmu.

Kebahagiaan 100% menurut Ibunda Fatima Mernissi

"Aku ingin anak perempuanku menjalani hidup yang ceria," harapnya, "sangat menyenangkan, dan seratus persen bahagia, tidak lebih, tidak kurang."

Aku menegakkan kepala dan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, lalu bertanya apa arti seratus persen bahagia itu, karena aku ingin dia pun tahu bahwa aku ingin melakukan yang terbaik yang bisa kucapai.


Upaya Memenuhi Wishlist Pembeli

Ada kalanya, saya mendapat pesanan buku secara spesifik dari pembeli. Si pembeli sudah tahu persis nama penulis, nama penerbit, terjemahan atau bahasa Inggris, bahkan kaver buku yang diminatinya.

Namun ada kalanya, tidak demikian.

Menjadi First Reader


Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca salah satu jurnal Mbak Rini tentang First Reader. Yang membuat saya ingin bercerita tentang pengalaman saya menjadi first reader. 


Meraba Selera Pembeli

Meraba selera pembeli itu susah-susah gampang.

Dan Ia pun Mulai Membaca

Gadis itu selalu senang membaca.

Ia senang membaca buku, koran, majalah, iklan, papan iklan, atau bahkan papan nama jalan. Ia jatuh cinta dengan huruf dan kata-kata, serta makna yang hadir dengan aneka konteksnya.

Pensilku: TKA Majalah Sastra untuk Anak

Sejak menjadi mahasiswa baru tahun 2002 di jurusan Komunikasi UI, saya sudah tahu bahwa saya nantinya akan memilih jalur TKA (Tugas Karya Akhir) ketimbang skripsi. Bukan karena TKA 'hanya' 3 sks--sementara skripsi 6 sks, namun karena saya tahu, bahwa saya bukan 'bright student' yang telaten dengan teori. Pun saat itu ada stereotipe bahwa 'yang bikin TKA pastilah seorang yang kreatif', namun sungguh, saya tidak merasa demikian. 


Saya hanya tahu, bahwa ada sesuatu yang ingin saya ciptakan. Dan bahwa saya sudah bisa membayangkannya secara detil, mulai dari lay outnya, rubriknya, covernya, dan detil-detil lainnya. Itu saja.

Karakter Fiksi yang Berkesan


1. Miss Marple dalam karya-karya Agatha Christie
Miss Marple adalah seorang tokoh dalam buku-buku bergenre detektif karya Agatha Christie. Tidak seperti Hercule Poirot (detektif asal Belgia dengan kepala bulat telur, kumis yang khas dan kerap berkomentar "Biarkan aku berpikir dengan sel abu-abuku), bagi saya, Miss Marple lebih humble. Tinggal di sebuah kota kecil dan tidak menikah, Miss Marple senang berkebun, merajut, minum teh dan senang mendengar. Dari pengalamannya bertemu dengan macam-macam orang, Miss Marple memecahkan suatu kasus dengan mencari benang merah pola karakter. Kerap kali Miss Marple berbicara "Gadis itu mengingatkanku pada si.."

Ragam Pembeli di HM Books


Berkecimpung di HM Books, membuat saya sering bertemu dengan beraneka ragam pembeli.

Ada pembeli yang mencari bonus gratisan. "Cinemags yang edisi Harry Potter and the Order of the Phoenix ya, Mbak. Kalau bisa yang bonusnya masih lengkap."

Catat-mencatat

Sudah sejak lama saya punya ketergantungan akut dengan buku catatan. 

Bermula saat SD. Karena senang membaca dan meminjam buku, maka saya sering mencatat hal-hal yang saya rasa penting. Seperti misalnya ujaran bahasa Prancis Mamzelle dalam kisah-kisah gadis asrama Enid Blyton. Tak jarang saya juga meringkas info-info yang saya anggap penting, seperti info tentang hidroponik, kisah para penemu, dan lain sebagainya.

Buku-buku yang Saya Suka


Beberapa waktu lalu, saya pernah mendapat pertanyaan "Mbak Retno sukanya baca apa?" Suatu pertanyaan yang saya renungkan jawabannya untuk waktu yang cukup lama. 

Dan jawabannya adalah:

Cermin

Mereka tidak menyingkirkan cermin dari ruangan ini.

Gadis itu tahu mereka telah menyingkirkan gunting, jarum, pencukur bulu, bahkan peralatan makan dari kaca. Ia menyaksikannya kemarin, saat ia diminta keluar kamar dengan ditemani seorang perawat. Seorang perawat yang merokok. 

Di luar kamar, ia bisa mendengar orang-orang memeriksa laci-laci dan lemari. Sementara di hadapannya, si perawat berseragam lusuh dengan percikan noda kopi di bagian dadanya, menghembuskan gumpalan-gumpalan asap rokok dengan bosan. 

Ia menatap bulatan-bulatan berlubang itu. Pikirnya, tentu akan lebih cantik kalau warna asap bukanlah putih. Putih terlalu menjemukan. Di sini, semuanya berwarna putih. Seprei putih, tirai putih, seragam putih, jaket putih, dinding putih, kaus kaki putih.

Tentu akan berbeda, jika asap rokok itu berwarna ungu, pikirnya. Bulatan-bulatan ungu melayang-layang di udara, melayang-layang di udara. 

***
Gadis itu menatap cermin di hadapannya. Sepotong cermin kecil yang hanya menampakkan bayangan kepala. Tanpa dada, tanpa lengan, tanpa kaki, tanpa tubuh. Seperti hantu. Seperti cerita hantu yang didengarnya kemarin di ruang makan, tentang sepotong kepala yang melayang-layang di udara. Tanpa dada, tanpa lengan, tanpa kaki, tanpa tubuh.

Tapi bayangan yang ditatapnya sekarang memang mirip hantu. Ada ceruk hitam yang dalam di bagian matanya, dengan tatapan kosong dan wajah sepucat kertas. Apa gerangan yang dipikirkannya? Apa yang dirasakannya? 

Si gadis mulai menggigiti kuku jarinya. Ia selalu menggigiti kukunya saat merasa cemas. Jemari si gadis membelai cermin di hadapannya. Oh hantu yang malang, tidakkah kita serupa? Gadis itu makin buas mengigiti kuku-kukunya. 
   
Sekilas, matanya menatap setitik warna merah di ujung jemarinya. Tapi hantu tidak mengeluarkan darah, pikirnya cemas. Dan seketika, pikiran itu menghantam kepalanya bertalu-talu. Hantu tidak mengeluarkan darah! Hantu tidak mengeluarkan darah! Hantu tidak mengeluarkan darah! 

Gadis itu mulai melempar barang-barang, membanting cermin. Hantu tidak mengeluarkan darah! 

Prang! 

Pecahan cermin berserakan di lantai. Pelan-pelan, tangan si gadis menjangkau satu pecahan. Menggenggamnya erat-erat, sampai aliran merah merembesi tangannya. Menggoreskan potongan itu pada pipinya, wajahnya, perutnya, lehernya, telinganya sampai genangan merah membasahi gaun putih lusuhnya. Menciptakan kubangan di sekitar tubuhnya.

***
Samar-samar si gadis menyaksikan semuanya. Empat orang perawat membopongnya, mencoba membuka genggaman tangannya. Seragam mereka juga basah oleh warna merah. Lamat-lamat si gadis mendengar seorang berteriak panik "Bagaimana ini bisa terjadi?? Apa yang harus kita sampaikan pada Kepala Perawat??"

Pertanyaan yang coba diuraikan si gadis dalam kepalanya. Namun gadis yang malang, ia gagal mengingatnya. Mungkin ada hubungannya dengan hantu, pikirnya. Atau kepala yang melayang-layang. Ah, ia merasa letih kini. Letih sekali. Ia harus tidur. 

Pelan-pelan, ia pun memejamkan matanya. Dan seketika, sepotong pikiran berkelebat di kepalanya. 

Mereka tidak menyingkirkan cermin dari ruangan ini. 

***

Hansel dan Gretel

Di kedalaman hutan belantara, Hansel dan Gretel lupa membawa roti. Tersesat dan kelaparan, mereka lelah dan frustrasi. 

Dan mereka mulai bertengkar.

“Gara-gara kamu lupa membawa roti!” tuding Hansel.

“Kok saya? Harusnya kan kamu yang bawa roti, lalu menaburkan remah-remahnya sebagai penanda jalan kita pulang, seperti dalam dongeng itu!” teriak Gretel tak mau kalah. 

Mata Hansel nyalang. “Oke, kita pisah. Saya cari jalan keluar sendiri!”

“Silakan! Biar kamu menemukan rumah kue dan penyihir jahat merebusmu sampai matang!” balas Gretel.

Sementara hujan mulai turun.

***

Hujan menderas, ketika kaki kanan Hansel tertusuk duri. Rembes dengan darah. Sementara Gretel basah kuyup dengan mata sembab, makin jauh tersesat. 

Pada  dua bagian hutan tanpa secercahpun sinar matahari, mereka saling menghela napas.

Dan hujan turun makin deras malam itu.  

***

Surel Putri Duyung

From: Putri Duyung
To: Pangeran
Subject: Heyho!

Dear Pangeran,

Aku ingin mengabarkan bahwa aku kini berada di Afrika dan baik-baik saja. Di sini aku bergabung dengan The Dian Fossey Gorilla Fund International, suatu lembaga yang menghimpun dana untuk menyelamatkan para gorilla.

Yayaya, aku tahu, kedengarannya aneh bagimu. Ini semua bermula dari malam itu, malam pernikahanmu dengan Putri Kerajaan Tetangga. Well, kuakui, aku memang agak tertekan saat itu. Setelah pesta pernikahan meriah di kapal pesiarmu, malam itu aku tak bisa tidur. Lalu aku menonton televisi.

HBO malam itu memutar film Gorillas in the Mist: The Story of Dian Fossey. Mataku nyaris tak berkedip. Dan saat credit title, aku sadar, hidupku telah berubah. 

Malam itu juga, aku memesan tiket penerbangan ke Afrika, mengepak koper, lalu terbang dengan pesawat terakhir ke Afrika, tempat aku mengabdikan hidup selamanya untuk menyelamatkan para gorilla. 

Aku minta maaf karena baru sekarang sempat membalas surelmu. Oya, nomer ponselku ganti, jadi maaf juga kalau kau tak bisa menghubungiku beberapa hari lalu. Ok, gotta go now, ada mama gorilla baru melahirkan. Can’t wait to see them! :) Salamku untuk Putri Kerajaan Tetangga, ya. Be happy! Ciao!


Salam sayang,

Putri Duyung

PS: Kukira lama tinggal di laut akan membuatku kulitku terbakar di Afrika. Well, dengan bantuan beberapa krim SPF, ternyata tidak :D. Kulitku sekarang sangat cokelat! Kabari aku kapan kau online di Skype dan aku akan membuktikannya! :D     

Kala Putri Aurora Terjaga

Pintu puncak menara telah terbuka.

Kaki Pangeran melangkah masuk. Sangat gelap di puncak menara, namun Pangeran tahu Putri Aurora ada di sana. Terbaring molek tertidur seratus tahun, menunggu sang Pangeran membangunkannya.

Dengan lembut, Pangeran pun mengecupnya.

Pelan-pelan, mata Putri Aurora terbuka. Ah, pangerannya telah tiba. Putri Aurora mengulurkan tangan hendak memeluk Pangeran, saat matanya menangkap kerut keriput di tangan. 


Aih! 

Panik, Putri Aurora mengelus wajahnya yang kini keriput, kering, dan kasar.

“Astaga, aku lupa mengoleskan krim anti aging!”  

Pendaftaran Audisi Putri Sejati

“Nama?” 
“Cinderella.”
“Motivasi mengikuti audisi?”
Hening sejenak.
“Ingin membuktikan pada pangeran, sayalah putri sejatinya.”
Petugas administrasi geleng-geleng kepala.
“Nona, Anda jelas tak baca peraturannya. Dalam audisi ini tidak ada pangeran. BERIKUTNYA!” 
Tangan petugas administrasi mencoret nama Cinderella dari daftar.

“Nama?”
“Putri Basah Kuyup.”
“Motivasi mengikuti audisi?”
“Ingin mencoba peruntungan.”
Petugas administrasi menghela napas. 
“Oke, silakan datang minggu depan untuk tes Kecerdasan. Minggu depannya akan ada tes Kerendahan Hati dan aneka tes lain sesuai jadwal yang Anda pegang. Selam..”
Wajah Putri Basah Kuyup memucat. 
“Tunggu! Tidak ada kacang polong dan kasur bulu angsa?”
“Maksud Anda?”
“Dulu Permaisuri menguji putri sejati dengan puluhan kasur bulu angsa dan sebutir kacang polong diselipkan di sela-sela kasur. Lalu..” dengan panik, Putri Basah Kuyup menjelaskan. 
“Nona, Anda peserta kesekian yang tak membaca ketentuan lomba. BERIKUTNYA!” potong petugas administrasi dengan wajah bosan.

Masuklah seorang gadis yang sangat mungil, berukuran seibu jari manusia. 
Petugas administrasi mengusap peluh. Hhh, hari ini akan sangat panjang. 
Tangannya siap mencatat.
“Nama?”

***

Misteri Buah Apel dan Putri Salju

Putri Salju pingsan. Satu tangannya memegang buah apel yang sudah tergigit. Di hadapannya, tim CSI Las Vegas sibuk mencatat.

“Catherine, periksa cipratan darah dekat buah apel dan ambil sampel darah dari tubuh Putri Salju, apa ada racunnya. Nick, periksa buah apel, apa ada serat atau rambut orang yang memberikannya pada Putri Salju. Jangan lupa cek sidik jari. Sara ikut saya mewawancarai orang-orang istana dan tujuh kurcaci.” instruksi Grissom.

***
Beberapa jam kemudian…

“Permaisuri, Anda terbukti memberikan apel beracun pada Putri Salju. Silakan ikut kami ke kantor polisi,” ujar Grissom.

Permaisuri ternganga.

“Keterlaluan! Anda tak bisa menuduh seseorang tanpa bukti!” sergah Permaisuri.

Grissom tersenyum. “Oh ya, kami punya bukti. Sekarang Anda bisa diam atau menelpon pengacara. Pilih salah satu.”

Di belakang mereka, sang cermin lamat-lamat bernyanyi “Dan di sanalah dia akhirnya, wanita tercantik di dunia…”