Jumat, 25 Oktober 2013

Bertetangga dengan Rumah di Jalan Mangga


Judul: The House on Mango Street
Penulis: Sandra Cisneros
Penerbit: Vintage Contemporaries
Jumlah hal: 110 halaman
=======================================
Tak ada yang terlalu istimewa dengan rumah di Jalan Mangga.  
Terletak di kawasan mayoritas penduduk Latin di Chicago, dinding rumah itu tidak bercat putih. Juga tidak ada halaman depan yang berumput luas. Sebaliknya, rumah ini bercat merah dan sempit dengan jendela-jendela mungil yang dideskripsikan Esperanza—tokoh sentral dalam buku ini dengan: “windows so small you’d think they were holding their breath.” (hal 4). Rumah ini memiliki tiga kamar, dan di halaman belakang ada garasi yang menganggur, karena keluarga Esperanza tidak punya mobil.

Keluarga Esperanza yang terdiri atas Mama, Papa, Carlos, Kiki, Nenny dan Esperanza sebelumnya tinggal berpindah-pindah. Mereka pernah tinggal di Keeler, kemudian tinggal di Loomis lantai tiga. Suatu tempat tinggal yang sulit tampak dari kejauhan, meski Esperanza telah berusaha keras menunjukkan dengan jarinya.

Satu hal sederhana yang membuat rumah di Jalan Mangga menjadi berbeda. “I knew then I had to have a house. A real house. One I could point to..” ujar Esperanza di halaman 5.

***
Membaca buku ini bagaikan membaca rangkaian puisi yang bercerita. Terdiri atas 45 bagian prosa liris, secara keseluruhan buku ini berkisah tentang kehidupan seorang gadis usia 12 tahun bernama Esperanza. Ditulis dengan sudut pandang orang pertama, tokoh Esperanza tak melulu berkisah tentang dirinya. Kerap kali, ia memaparkan pengamatan dan perenungannya pada banyak hal. Mulai dari rumah barunya, tetangga-tetangganya, teman-temannya, masa pubertasnya, mimpi-mimpinya, sampai pelecehan seksual yang dialaminya.

Semua dituturkan apik dengan judul-judul bab yang sederhana, seperti misalnya: Hips, Geraldo No Last Name, What Sally Said, Alicia & I Talking on Edna’s Steps, serta No Speaks English. Atau judul yang diambil Cisneros dari puisi terkenal Mothergoose: There Was an Old Woman She Had So Many Children She Didn’t Know What to Do.  

Kalimat-kalimat sarat kontemplasi juga banyak ditemui dalam buku ini. Beberapa diantaranya adalah: “In English my name means hope. In Spanish it means too many letters. It means sadness. It means waiting.." (hal 10). Atau kalimat di halaman 33 yang juga menjadi kalimat favorit saya dari buku ini: “You can never have too much sky. You can fall asleep and wake up drunk on sky and sky can keep you safe when you are sad. Here there is too much sadness and not enough sky…”

***
Dalam rubrik Connection di majalah Oprah terbitan Maret 2009, Sandra Cisneros menguraikan tentang dunia kata yang dihuninya. Bertajuk “The Storyteller” penulis kelahiran tahun 1954 ini menuliskan tentang proses kreatif The House on Mango Street. “I still didn’t think of it as a novel. It was just a jar of buttons, like the mismatched embroidered pillowcases and monogrammed napkins I tugged from the bins at the Goodwill. I wrote these things and thought them as ‘little stories,’ though I sensed they were connected to each other…” (hal 155).

Lebih jauh, wanita yang juga mengajar di SMU ini menuliskan cita-citanya untuk menuliskan buku idamannya. “She wants to write stories that ignore borders between genres, between written and spoken, between highbrow literature and children's nursery rhymes. Its true, she wants to the writers she admires to respect her work, but she also wants people who don't usually read books to enjoy these stories, too. She doesn't want to write a book that a reader won't understand and would feel ashamed for not understanding.

She thinks stories are about beauty. Beauty that is there to be admired by anyone, like a herd of clouds grazing overhead. She thinks people who are busy working for a living deserve beautiful little stories, because they don't have much time and often tired. She has in mind a book that can be opened at any page and will still make sense to the reader who doesn't know what came before or comes after.

She experiments, creating text that is as succinct and flexible as poetry, snapping sentences into fragments so that the reader pauses, making each sentence serve her and not the other way round, abandoning quotation marks to streamline the typography and make page as simple and readable as possible. So that the sentences are pliant as branches and can be read in more ways than one.” (hal 155)

***
Dirilis tahun 1984, The House on Mango Street adalah karya sastra yang baru berumur 26 tahun. Namun ia telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, menjadi bahan referensi pelajaran bahasa mulai dari pelajar usia 13 tahun hingga mahasiswa pasca sarjana, serta diangkat sebagai tema dalam sejumlah tinjauan kritis.

Kini, Cisneros tinggal di San Antonio, Texas. Memilih untuk hidup menyepi, putri dari Alfred Cisneros ini tinggal di rumah idamannya, yang dihiasi bunga marigold Meksiko dan pemandangan sungai yang riuh dengan itik, rakun, possum dan kura-kura. Gambaran yang pas dengan kalimat yang ditulis Cisneros di halaman 108 dari The House on Mango Street:“Only a house quiet as snow, a space for myself to go, clean as paper before the poem.”

0 komentar:

Posting Komentar