Judul: Surrendering to Marriage (Husbands, Wives, and other Imperfections)
Penulis: Iris Krasnow
Penerbit: Talk Miramax Books
--------------------
Marriage (noun): legal union of a man and woman as husband and wife.
Marriageable (adjective): old enough or suitable for marriage
Marry (verb): take somebody as a husband or wife; join as husband and wife; find suitable partner for
Married (adjective): having a husband or wife
Namun, hal-hal apakah yang ada di balik pernikahan? Apa yang membuat suatu pernikahan bisa bertahan hingga puluhan tahun dan tak tergoyahkan oleh usia, perselingkuhan, penyakit, bahkan kematian? Sungguhkah ada bentuk cinta yang tak lekang dimakan zaman?
Dalam buku yang melalui riset nyaris selama tiga tahun inilah, Iris Krasnow mencoba merumuskan jawabannya.
***
Buku setebal 236 halaman ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama, The Malaise, secara garis besar bertutur tentang hal-hal yang memicu retaknya pernikahan. Beberapa diantaranya, kejenuhan akan rutinitas harian, minimnya komunikasi, dan perselingkuhan. Chloe, misalnya. Selain mengungkapkan keluhan ”We do not connect” atas suaminya, Chloe juga menyatakan keinginannya: ”I miss romance. I feel like I need a total escape. I need the thrill of a new face. I need a new flirtation. I need to be around someone who makes me feel like a vital force..” (hal 37).
Hal yang kurang lebih senada diungkapkan narasumber lain, Cindy. Seorang istri militer dengan tiga anak dari South Carolina ini mengungkapkan pernikahannya yang tanpa keintiman. Cindy dan suaminya bisa melewati sembilan bulan tanpa seks, karena respon dingin sang suami. ”I miss having someone to hug. I miss knowing that someone thinks I’m pretty..” ujarnya (hal 53).
Dilanjutkan dengan bagian kedua buku ini, The Choice. Seperti tajuknya, The Choice bertutur tentang pilihan, baik itu perceraian maupun pilihan untuk kembali memperbaiki pernikahan. Ada Liza, yang menceraikan suaminya yang berprofesi sebagai kardiolog, karena jatuh cinta pada John, seorang pelari kelas dunia. Setelah memutuskan untuk tinggal bersama John, Liza kemudian menyadari bahwa ”I saw that both of these guys were falling short of perfection, neither was 100 percent. What I really wanted to do was blend them together into one person; it would have been the perfect man.” (hal 87). Dan setelah melalui dua tahun perpisahan dengan suaminya, Liza berujar ”I don’t feel like I did the right thing or I did the wrong thing. I feel like I made a choice and I knew there would be consequences, as there every time you take one fork in the road...” (hal 88).
Dan ada May, istri dari seorang dokter hewan kota. Mengalami krisis paruh baya, suami May berselingkuh dengan salah seorang kliennya. Perselingkuhan selama tiga tahun lebih itu kemudian memicu sang suami untuk meninggalkan May.
Sampai pada suatu malam, suami May tiba-tiba datang. ”..he must have been struck by how different our house is, clean, soft music, good food, his children around. And he started complaining to me about his lady friend...” (hal 103). Saat minum kopi bersama May, sang suami juga bercerita bahwa ia mencoba untuk ”membawa” atmosfer rumah lamanya ke dalam rumah barunya. ”He would try and make them nice dinners, light candles and play music, like we did, but it wasn’t the same. That it was just horrible and made him miss us even more.” (hal 105). Akhirnya, setelah berjanji untuk tidak lagi melakukan komunikasi apapun dengan wanita itu, suami May pun diizinkan untuk kembali ke rumah dan bersama-sama memperbaiki pernikahan.
Upaya untuk memperbaiki pernikahan juga dilakukan oleh Jacob, seorang wartawan dari Sarasota. Setelah delapan belas tahun pernikahan, istri Jacob mengaku bahwa dirinya tengah jatuh cinta pada seorang wanita usia dua puluhan. ”I accepted the betrayal. I accepted that she may have a thing for women. I figured that I would absorb that blow because I adore being married and because I adore my family.” (hal 108). Selama beberapa waktu, Jacob pun mencoba untuk meromantisasi kembali pernikahan mereka. Ia mengirimi istrinya bunga, mengajak candle light dinner dan liburan akhir pekan. Namun sayang, upayanya tak berbuah manis. ”We would go away for a weekend and I’d be thinking we were having a beautiful time and I’d get back and would see in her emails that she was longing for someone else.” (hal 108). Meski demikian, Jacob mengakui bahwa lebih mudah baginya merelakan istrinya pergi untuk seorang wanita, ketimbang pria. ”Why is that? I can’t compete,” ujarnya (hal 109).
***
Pada bagian ketiga dari buku ini, Krasnow mengambil tajuk The Surrendering. Bertutur tentang komitmen untuk mempertahankan pernikahan, Krasnow mengambil sampel wawancara dari para pasangan yang telah melalui pahit asam pernikahan. Ada pasangan elegan Ruby dan Sam dari New York yang menjalani pernikahan dengan penyakit disfungsi seksual yang diderita Sam.
Kemudian ada Dee Frankfurter, wanita usia enam puluhan yang telah melewati empat puluh tahun pernikahan bersama suaminya, Dick. ”Marriage for me was a process of discovering that I was at least as right, if not more right, some of the time,” ujarnya (hal 135). Lebih lanjut Dee menjelaskan ”Our life together wasn’t a competition, but a process of listening carefully and respecting—respect is a very important factor. You need to respect, as well as love each other. Respect to me means having an enormous regard for the integrity of your mate’s opinions and ideas, and absolutely never belittling or shooting the other down.” (hal 135).
Menurut Dee, Dick yang telah meninggal tujuh tahun lalu, adalah sahabat terbaiknya.”Neither one of us had a lot of time buddying around with others, never. We were each other’s best friends. And yes, there was romance. We told each other we loved each other every day, every single day. When he died, I didn’t have to feel guilty that he didn’t know I loved him..” (hal 136).
Ada pula pasangan Joshua dan Nan dari Washington. Memiliki dua anak yang terlahir dengan cerebral parsy, membuat pernikahan Joshua dan Nan nyata dan tak terpisahkan.“Each day is about surrender, responding to their needs, and yes, giving up a lot of freedom, for both of us. I am tied. This is it,” ujar Joshua (hal 176).
Dengan seorang anak yang berjalan dengan alat bantu dan seorang lagi menggunakan kursi roda, Joshua mengaku harus bangun empat sampai lima kali semalam untuk membantu mengembalikan posisi tidur anaknya. Anak sulungnya yang berusia 17 tahun belum bisa untuk membuka kancing baju atau melepas sabuknya sendiri, sehingga harus dibantu. “We do it, and there’s no one you can get mad at,” ujar Joshua (hal 176). Tidak saling menyalahkan inilah yang juga menjadi prinsip utama pernikahan Joshua dan Nan.
Setelah melewati dua bagian sebelumnya yang banyak berisi kisah muram mengenai pernikahan, membaca bagian ketiga buku ini sungguh sangat meneduhkan.
***
Sebagai dosen jurnalistik di American University yang mengajarkan mata kuliah The Art of Feature and Profile Writing, buku ini sungguh menggambarkan kedalaman riset Krasnow serta kepiawaiannya mewawancarai narasumber dan menggali aspek personal mereka. Kepada Jonathan Burnham, presiden dan pemimpin redaksi Talk Miramax Books, penulis yang dua bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, sempat berseloroh“The only way I can do this books is if I approach it is as if I were a foreign correspondent dispatched to a strange country, like I had just been dropped into Bangladesh.”
Tak hanya mewawancarai sejumlah pasangan—termasuk juga pasangan gay, Krasnow juga mewawancarai sejumlah penulis buku tentang pernikahan, serta pengacara yang menangani perceraian. Bahkan demi mendapatkan narasi orang pertama secara detil, Krasnow meminta asistennya, Betsy Doughty untuk mewawancarai Krasnow. Bersama dengan Doughty, Krasnow juga memilah-milah tumpukan buku dan majalah, untuk menyarikan sejumlah kutipan, yang memperkaya buku ini.
Tanpa sungkan, Krasnow juga menuturkan sebagian kisah dari pernikahannya dengan Chuck Anthony, yang membuahkan tiga orang putra. Tak hanya bagian manis saat ia menyadari Chuck adalah ayah terbaik bagi putra-putranya, Krasnow juga berbagi masa-masa saat mereka bertengkar dan menjalani terapi pernikahan. Diakuinya, selama menyusun buku ini: “We still have an imperfect marriage. But my attitude changed—dramatically. I now accept and expect imperfection. I surrender to this imperfect marriage, because I love it more than I hate it and I committed to this man with a promise that I need to, we all need to, do our best to fulfill.” (hal 2-3).
Kata “surrender” yang sama juga diangkat Chuck dalam Back Page from Chuck dari buku ini. “It’s not surrendered in the past tense, as if something’s already accomplished; it’s not surrender, as in a command that you must do such-and-such. It’s surrendering—an unfolding process in the present and into the future. Our marriage is certainly a work-in-progress, as it should be. The sharpness of Iris’s profound insights can’t always be in focus for either of us—we’ve got jobs to do, kids to raise, and dozens other distractions. But those fleeting glimpses of why we’re together sustain us, even when we can’t stand to be in the same room. I got you, babe.” (hal 236).
0 komentar:
Posting Komentar