Senin, 13 Desember 2010

Dari Baju Bekas sampai Toko Buku Online

Pukul 08.30 adalah salah satu waktu sibuk di Pasar Senen. Klakson angkot sudah ramai bersahutan, dengan teriakan para kenek yang berebutan penumpang di terminal. “Aqua, aqua, yang aus, yang aus,” teriak penjaja minuman sesekali terdengar. Sementara para pedagang baju bekas mulai membuka lapaknya di bahu jalan.

Dan di sanalah, di lobi Atrium Senen, saya melihat mereka. Wajah-wajah sama yang saya temui di ruangan kuliah, atau saat menyantap pecel ayam di kantin kampus, atau saat menelusuri tumpukan skripsi di perpustakaan jurusan, atau bahkan saat menonton DVD serial Friends di ruang tengah rumah Citra. Wajah-wajah familiar yang kemarin sore baru saja mengucapkan “Sampe besok ya No, ati-ati yaaa.” 


Seperti saran saya, mereka tidak berpakaian rapih. Citra tidak menyisir rambutnya. Shinta dan Ain mengenakan jilbab langsung pakai. Dhanny mengenakan sandal jepit. Dan Yena kami yang selalu tampil modis bahkan saat akan tidur sekalipun, telah berusaha mengenakan pakaian terbelel miliknya—sepotong kaus abu-abu dan celana selutut. Kami semua membawa satu ransel besar yang dikenakan di depan, satu botol air mineral, dan banyak uang receh. 

Dengan bersemangat, mata-mata mereka menatap saya. Lalu berujar “Jadi kita mulai hunting baju darimana nih, No?”
                        ***

Pasar Senen adalah salah satu tempat yang telah saya akrabi sejak saya berusia 15 tahun. Saat itu, dengan bermodalkan uang hadiah menang lomba synopsis, saya membuka rental komik di rumah. Jangan bayangkan rental komik satu ruangan penuh buku dulu, ya. Karena dulu koleksi saya tidak sebanyak itu. Koleksi saya hanyalah beberapa kardus komik dan satu kardus novel. 

Seluruh koleksi ini saya data dalam sebuah buku tulis. Kemudian setiap siang, saat istirahat dan usai pelajaran, saya akan menyambangi kelas per kelas di SMP saya untuk menyewakan komik-komik ini. Karena saat itu SMP saya terdiri atas 9 kelas, untuk setiap kelas 1,2, dan 3-nya, maka dari sanalah saya mulai terkenal sebagai “Retno Komik dari kelas 3-1”. 

Harga sewa komik bervariasi, mulai dari Rp 300- Rp 1,000, dengan waktu sewa maksimal 1 minggu. Tak jarang calon penyewa akan bertanya pada saya “7200 detik itu tentang apa ya, No? Bagus nggak?”, atau “No, gua lagi pingin baca Serial Cantik yang romantis, ada nggak?”, atau “No, gua baru baca Topeng Kaca sampe Maya-nya jadi Puck. Itu nomer berapa ya?”. Dan di sanalah saya, menghabiskan waktu istirahat saya dengan menjawabi pertanyaan itu satu persatu.
                        ***

Setiap minggu pagi, dengan membawa daftar judul komik yang belum lengkap saya akan berburu komik di terminal Senen. Lalu, pulang menjelang siang dengan ransel penuh. Usai makan siang, saya akan membersihkan setiap komik itu dengan lap bersih. Lalu menyampulinya dengan sampul plastic, dan terakhir, mendatanya sebagai update stok baru di daftar komik saya.

Berapa pendapatan saya saat itu? Tidak banyak memang. Hanya sekitar Rp 5,000-Rp 20,000 per hari. Jumlah yang tidak sebanding dengan pengeluaran saya untuk belanja stok komik tiap minggu. Jumlah yang kalau dihitung-hitung, tetap tidak sebanding dengan usaha saya untuk merawat komik koleksi saya, sementara para penyewa ada yang merusaknya, atau bahkan tidak mengembalikannya sampai sekarang. 

Apapun itu, saya mensyukuri pengalaman itu. Dari pengalaman itu, saya belajar akan sulitnya mencari uang, sehingga lebih menghargai nilai uang itu sendiri. Seperti ujaran Kekes dan Ra’ di serial Anak-anak Mama Alin karya bubin LantanG “Makanan yang gua makan, air yang gua minum, terasa lebih nikmat. Karena itu semua pake keringat gua sendiri..”
                        ***

Dan enam tahun kemudian, kembalilah saya ke Pasar Senen. Bedanya, kali ini saya tak lagi menyambangi lapak buku bekas, namun lapak baju bekas. Karena hampir tiap minggu kesana, saya sampai nyaris hapal lapak mana yang punya rok bagus, kemeja bagus dengan harga seribuan, rajut-rajut dengan harga murah Rp 15 ribu-2 potong, dll. 

Dari sana, saya juga belajar untuk jeli memilih. Apakah pakaian merk Dior ini asli? Apakah rajut-rajutnya utuh dan tidak ada benang yang terburai? Apakah noda ini masih bisa dihilangkan dengan deterjen? Apakah kancingnya lengkap? Dan kalaupun tidak, adakah kancing ekstra di bagian dalam baju untuk mengganti kancing yang lepas ini? Dan banyak detil lain lagi yang saya pelajari. 

Dengan mengacu pada majalah mode seperti Cosmopolitan, Seventeen, Cosmo Girl, dan catalog sejumlah merk pakaian, saya juga belajar untuk me-mix and match baju model aneh-aneh. Rok panjang lukis dengan kaus lengan panjang putih dan rompi rajut-rajut putih. Gaun vintage biru renda-renda semata kaki dengan sepatu bot merah. Gaun mini merah dengan jins warna nyaris pudar, dengan bot merah dan kalung manik-manik hitam merah. Dan saat ada yang berkomentar “Iiih, bajunya lucuuu”, maka saya akan menjawab “Ini beli di Senen lho, cuma seribu..”

Well, tentu saja, saya tak berburu baju di Senen semata-mata untuk koleksi pribadi saya. Setelah mencuci dan menyeterikanya, saya akan membawa beberapa potong ke kampus, bahkan ke kantor majalah tempat saya nyambi bekerja saat itu. Saat ada bazaar di Balairung, saya dan teman-teman juga patungan menyewa tempat. Lalu bersama-sama, kami akan bergantian menjaga lapak yang isinya sagala aya itu. Mulai dari baju vintage, madu, mahkota dewa, asesoris dari manik-manik seperti kalung, gelang, tas, dompet, dll. 

Bagaimanapun, pengalaman buka lapak itu juga mengajarkan saya banyak hal. Diantaranya, alat-alat penunjang untuk display barang dagangan kita—atau setidaknya, bagaimana memaksimalkan apa yang kita punya untuk memaksimalkan display. Dulu, karena tidak punya gantungan baju beroda, yang kami lakukan adalah membawa koper, dan membukanya begitu saja di lapak. Untuk menggantung baju-baju, kami menggunakan dahan pohon dan tali raffia. Menggunakan kardus sebagai pengganti meja pajang. Dan yang terpenting, berlatih menyapa setiap orang yang lewat dengan “Silakan Mbak, baju vintagenya, atau kalung-kalungnya. Handmade lho Mbak..”

Di bazaar itu pula, saya pernah menjual gaun vintage motif komik American Heroes dengan harga Rp 25,000. Gaun itu saya beli di Senen dengan harga Rp 1000. Atau, atasan rajut-rajut warna toska dengan lengan gembung yang saya beli Rp 7,500, dan saya jual Rp 35,000. 

Harga jual ini tak semata-mata saya pasang asal taruh. Sebelumnya, saya sudah melakukan riset harga ke sejumlah mal dan butik. Dan karena bagi saya ‘bekas is bekas’, maka harga yang saya pasang hampir selalu 50 % di bawah harga pasar, dan sebisa mungkin dikurangi lagi sampai sekitar 20%. Prinsip ini jugalah yang saya terapkan dalam membuka toko buku online pertama saya, HM Books atau Halaman Moeka Books.
                    ***

Pada Juli 2009, mulanya HM Books hanya menjual buku-buku koleksi pribadi saya saja. Namun dengan berjalannya waktu, saya pun mulai melakukan perburuan buku. Dan hingga kini, HM Books menjual rata-rata 150-200 buku setiap bulan, mulai dari novel, komik, dan majalah, baik baru maupun bekas. Alhamdulillah. 

Di HM Books inilah saya kembali belajar pengalaman baru. Tentang seni berburu buku langka. Tentang manajemen keuangan. Tentang bagaimana menghadapi keluhan atau complain pelanggan. Tentang menjawabi permintaan pelanggan. Tentang menghadapi pemesan yang bisa memesan setumpuk buku, kemudian menghilang entah kemana tanpa kabar dan pemberitahuan. Tentang mengirim barang secara cepat. Tentang memenuhi janji pada pelanggan yang memesan buku secara offline. Tentang promo. Tentang laporan keuangan rutin untuk dikirimkan pada orang yang titip jual. Tentang menyikapi persaingan ketat di antara penjual online lainnya. Dan masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya bagi saya.

Namun yang paling saya syukuri di atas segalanya, adalah bahwa saya bisa melakukannya dari rumah. Untuk pertama kalinya sejak saya pertama kali bekerja kantoran di usia 19 tahun, saya tak perlu lagi berkejaran dengan bus kota dan berdesakan di dalamnya. Saya juga tak perlu lagi pulang larut malam, karena menyelesaikan sejumlah deadline. 

Dan yang terpenting, betapa saya bisa menjalankan toko online ini sambil menjaga dan membesarkan Raihana. Mencoba memberikan ASI eksklusif padanya, sambil mengamatinya setiap perkembangannya, yang kini telah bisa tengkurap dan guling-gulingan di atas kasur. Karena Raihana adalah prioritas utama saya, maka bagi saya pekerjaan utama saya tetaplah sebagai ibu. Dan bahwa pekerjaan lainnya—entah itu menjalankan toko online, mengedit dan mengategorisasikan buku, menulis artikel—apapun itu, tetaplah pekerjaan sampingan saya. 

Yes, I love my job :). Alhamdulillah.

1 komentar:

KIM mengatakan...

harga bajunya dah pada naek ya

Posting Komentar