Jumat, 25 Oktober 2013

Merenungi Kesalahan-kesalahan yang Tidak Diketahui dalam Hidup Kita


Judul: The Unknown Errors of Our Lives (Kesalahan-kesalahan yang Tidak Diketahui dalam Hidup Kita)
Penulis: Chitra Banerjee Divakaruni
Alih bahasa: Gita Yuliani K
Desain dan ilustrasi cover: Satya Utama Jadi
Penerbit: Gramedia

========================================================
Butuh waktu untuk menguraikan luka.

Karena seperti yang dituliskan Amy Tan dalam The Joy Luck Club, melalui tokoh An-mei: “Dan begitulah kejadiannya dengan suatu luka. Luka itu mulai menutup sendiri untuk melindungi apa yang terasa sakit. Dan sekali sudah tertutup, kita tak lagi melihat apa yang ada di bawahnya, apa yang menyebabkan rasa sakitnya.”

Sebagian orang mungkin akan membiarkannya berlalu begitu saja. Sebagian lagi mungkin akan kelewat enggan untuk menguraikan benang kusut kompleksitas penyebab lukanya. Dan sebagian lagi, mungkin bahkan lupa, bahwa luka itu pernah ada.

Namun, tidak demikian halnya dengan seorang Chitra Banerjee Divakaruni.

***
Dalam buku kumpulan cerpen yang terdiri atas sembilan cerpen ini, Chitra berusaha menguraikan luka para tokohnya, para wanita India yang menjadi imigran di Amerika. Ada Nyonya Dutta (dalam cerpen: Nyonya Dutta Menulis Surat) yang terkucilkan dalam keluarga anak dan menantunya karena gegar budaya. Ada tokoh seorang kakak perempuan (dalam cerpen: Kecerdasan Benda-benda Asing) yang merasa bersalah karena terlalu lama mengabaikan adik lelakinya yang datang ke Amerika. Ada Leela (dalam cerpen: Kehidupan Benda-benda Asing) yang berusaha keluar dari zona soliter hidupnya di Amerika dengan mengunjungi India dan mengikuti acara ziarah. Ada Monisha (dalam cerpen: Cinta Seorang Pria Baik) yang menyimpan dendam pada ayah kandung yang meninggalkan dirinya dan ibunya untuk hidup di Amerika. Ada Aparna (dalam cerpen: Apa yang Diketahui Tubuh) yang berusaha memulihkan dirinya lahir batin setelah berbulan-bulan dirawat di rumah sakit karena mengalami penyakit usai melahirkan putranya. Ada sepasang kakak beradik (dalam cerpen: Anak-anak yang Terlupakan) yang melarikan diri dan pikiran mereka dalam khayalan, menghindari perilaku abusif ayah mereka yang sering mabuk. Ada Mira dan Radikha (Masa Kaktus Berbunga) dengan latar belakang berbeda yang memiliki kesamaan: trauma pada kaum pria. Ada Ruchira (dalam cerpen: Kesalahan-kesalahan yang tidak Diketahui dalam Hidup Kita) yang pada tiga hari sebelum pernikahannya bertemu dengan seorang wanita yang dihamili calon suaminya. Ada seorang ibu (dalam cerpen: Nama-nama Bintang dalam Bahasa Bengali) yang mencoba beradaptasi kembali dengan India dan bernostalgia dengan masa lalunya, saat membawa anak-anaknya dari California ke Calcutta untuk mengunjungi nenek anak-anaknya.

***
“Happiness is a very elusive quality,” ujar Dee Frankfurter, seorang penulis. Dan inilah yang berusaha dipahami oleh sebagian tokoh dalam buku ini, dengan cara mereka masing-masing.

Aparna misalnya, pada awalnya menggantungkan kebahagiaan dengan jatuh cinta pada dokter bedahnya, Byron. Setiap pagi Aparna akan menggosok lipstick ke bibirnya yang retak-retak, menggelapkan mata yang tenggelam dengan jari gemetar, dengan tas make-up yang dibawakan Umesh, suaminya, demi menyambut waktu pemeriksaan Byron. Sampai Aparna jatuh cinta pada bayinya, Aashish. “Tatapan si bayi yang tajam, penuh perhatian, caranya memandang keluar ke dunia dengan perhatian yang murni dan sempurna. Aparna bahagia olehnya dan juga menjadi rendah hati karenanya. Dia juga ingin belajar seperti itu.” (halaman 142)

Atau kebahagiaan imajiner yang dikhayalkan tokoh sepasang kakak beradik. Penat dengan kemiskinan dan sikap abusive sang ayah yang gemar mabuk, mereka berusaha memahami kebahagiaan dengan definisi yang berbeda. “Dalam khayalan kami, tidak ada yang menyeret kami di jalan masuk mobil yang sudah retak-retak sehingga batanya yang terbuka menggosok punggung kami. Di garasi yang gelap, tidak ada yang menyalakan korek dan mendekatkannya begitu dekat sehingga kami merasakan panasnya pada kelopak mata kami. Dalam khayalan kami, berbagai bagian perbendaharaan kata sudah lenyap sama sekali dari kamus: takut, remuk, amuk, maut, ayah.” (halaman 156)

Atau bahkan dalam sepucuk surat yang ditulis Nyonya Dutta untuk sahabatnya, Roma. “Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu tentang apakah aku bahagia, karena aku sudah tak yakin apa sebenarnya kebahagiaan. Yang kutahu hanya bahwa kebahagiaan bukan seperti yang kusangka. Bukan tentang rasa dibutuhkan. Bukan juga tentang berkumpul bersama keluarga. Ada hubungannya dengan cinta, aku masih beranggapan begitu, tetapi dengan cara yang berbeda dengan yang kuyakini dulu, suatu cara yang tidak bisa kujelaskan. Mungkin kita bisa memikirkannya bersama, dua wanita tua minum cha di flat lantai bawahmu (karena kuharap kau mau menyewakannya kepadaku sekembaliku ke sana), sementara di sekitar kita gosip beredar—tetapi ringan saja, seperti hujan musim panas, karena itu saja yang kita bolehkan terjadi. Kalau aku beruntung—dan mungkin, walau semua yang sudah terjadi, aku memang beruntung—kebahagiaan itu letaknya dalam memikirkannya.” (halaman 44-45)

***
Manusia adalah makhluk yang dinamis. Dalam Autobiography of My Mother, Jamaica Kincaid menulis: “Siapa dirimu adalah misteri yang tak bisa dijawab siapapun, tidak juga oleh dirimu sendiri.”

Dan yang saya kagumi dari buku ini, selain dari--ditulis dengan demikian indahnya oleh Chitra dan diterjemahkan dengan indah pula-- adalah: tentang penerimaan diri para tokoh atas diri mereka sendiri, dengan segala absurditas, kompleksitas, dan kontradiksinya. Suatu proses yang butuh waktu panjang dan kerendahan hati untuk menelaah dalam diri.

Seperti yang ditulis Hal Stone & Sidra Winkelman dalam Embracing Each Other: “If we wish to surrender to the process of consciousness, we must surrender to it in all its complexities and contradictions. If we want to be loving human beings, we must learn to love our own wolves and jaguars and snakes and dragons, and stupidity and irritability and weakness and vulnerability and darkness as much as we love our loving and rational, competent, caring, and light-oriented selves.”

0 komentar:

Posting Komentar