Jumat, 25 Oktober 2013

Latihan Sukacita dari si Riang Pollyanna


Judul buku: Pollyanna
Penulis: Eleanor H. Porter
Penerjemah: Rini Nurul Badariah
Penyunting: Rinurbad & Dee
Ilustrasi sampul: Ella Elviana
Pemeriksa aksara: Azzura Dayana
Penata letak: Lian Kagura
Penerbit: Orange Books
Cetakan pertama: Mei 2010
=====

"If you don't consciously prepare yourself each day to practice wonder and joy, you get really good at practicing stress and pain and anger and fear." Itulah kalimat yang pernah saya baca dari salah satu artikel di majalah Oprah. Kalimat yang juga sekaligus membuat saya mencamkan: bahwa kebahagiaan bukanlah hadiah yang serta merta jatuh dari langit. Ia harus dipelajari, dilatih dan diupayakan setiap hari.

Seperti yang dilakukan oleh seorang Pollyanna Whittier.


Pollyanna adalah seorang gadis cilik berusia sebelas tahun yang yatim piatu. Almarhum ayahnya, John Whittier adalah seorang pendeta. Sepeninggal ayahnya, Pollyanna sempat dirawat oleh Ladies’ Aid—suatu organisasi relawan, untuk kemudian diserahkan pada satu-satunya anggota keluarga Pollyanna yang tersisa, bibinya. Wanita yang belum menikah ini bernama Miss Polly Harrington dan tinggal di Beldingsville, Vermont.

Miss Polly yang kaku pada awalnya merasa terbebani oleh kehadiran Pollyanna. Alih-alih menyediakan satu kamar yang nyaman untuk Pollyanna, Miss Polly malah memberikan sebuah kamar di loteng. Tanpa cermin, panas, dan dengan beberapa ekor lalat yang beterbangan masuk saat jendela dibuka. Sungguh suatu kamar yang jauh dari bayangan Pollyanna yang mengidamkan sebuah kamar dengan karpet, lukisan dan tirai draperi.

Namun ketimbang mengeluh, Pollyanna memilih untuk melakukan permainan sukacita yang pernah diajarkan almarhum ayahnya. Dalam permainan ini, Pollyanna akan mencoba menemukan sisi menyenangkan dari setiap peristiwa—seburuk dan semengesalkan apapun itu. Tentang kamar itu misalnya. Pollyanna berkata “Aku senang di sini tidak ada cermin, sebab TIDAK ada kaca yang memperlihatkan bintik-bintik mukaku.” (hal 34) dan “Lihat..jauh di sana, pohon-pohon, rumah dan menara gereja yang indah itu, dan sungai berkilatan seperti perak…pemandangan seperti itu membuat kita tidak butuh lukisan. Oh, kini aku senang dia memberikan kamar ini.” (hal 35)

***
Lambat laun, permainan sukacita ala Pollyanna ini mulai populer di kota tersebut. Pada awalnya, hanya Nancy, pembantu Miss Polly, yang bersedia memainkan permainan ini. Diikuti oleh si pengurus kebun, Tom Tua, Dr Chilton, Mrs. Snow yang lumpuh, Mr John Pendleton yang asosial, Jimmy Bean yang sering berkata kasar, Pendeta Paul Ford yang mulai kehilangan antusiasme jemaatnya, Mrs. Tarbell yang berduka karena putranya meninggal, Mrs. Benton yang selalu mengenakan pakaian hitam karena berkabung atas kepergian suaminya, Mrs. Payson yang berniat bercerai dari suaminya, sampai orang yang paling diharapkan Pollyanna untuk turut dalam permainan ini: bibinya sendiri.

Karena Pollyanna menjadi demikian populernya, seluruh kota pun turut berduka saat Pollyanna mengalami kecelakaan mobil. Kecelakaan yang membuat kaki Pollyanna terancam lumpuh seumur hidup.

***
Napas buku ini mengingatkan saya pada buku klasik berjudul What Katy Did karya Susan Coolidge. Buku yang telah diterjemahkan dengan judul Katy ini juga menampilkan tokoh sentral gadis berusia sepantaran Pollyanna. Mereka sama-sama gadis ceria yang kemudian mengalami kecelakaan dan berusaha melewati masa-masa sulit. Kalau Katy mengistilahkannya dengan “belajar di Sekolah Penderitaan (School of Pain)” maka Pollyanna menyebutnya dengan “permainan sukacita (Glad Game).”

Betapapun, permainan sukacita bukanlah sekadar optimisme buta belaka. Seperti yang dijelaskan oleh sang penulis, Eleanor B. Porter di website Pollyanna of Littleton (http://www.golittleton.com/eleanor_porter.php), yang juga merupakan kampung halaman Porter. "Pollyanna did not pretend that everything was sugar-coated goodness,” ujar Porter.

Ini tampak misalnya saat Pollyanna menegur Nancy yang gembira karena Miss Polly berangkat ke Boston untuk menghadiri pemakaman. “Pasti ada beberapa hal yang tidak cocok untuk memainkan ini—dan kurasa pemakaman adalah salah satunya. Tidak ada yang bisa membuat kita gembira dari situ.” (hal 139)

Atau saat Pollyanna memprotes Nancy yang berujar betapa gembira dirinya karena Miss Polly akhirnya mencemaskan Pollyanna. “SENANG karena Bibi Polly takut memikirkan diriku! Oh, Nancy, BUKAN begitu aturan mainnya—senang karena hal seperti itu!” ia keberatan (hal 205)

Atau bahkan saat Pollyanna merindukan ayahnya. “Aku tahu, Ayah yang berada di antara malaikat, aku tidak sedang bermain sekarang…tak sedikit pun; tapi aku tak percaya bahwa kau tak bisa menemukan hal yang menyenangkan tentang tidur di atas sini sendirian dalam gelap, seperti ini. Kalau saja aku dekat kamar Nancy atau Bibi Polly, atau bahkan anggota Ladies’ Aid, pasti tidak begini!” (hal 47).

***
Sebagai karya sastra anak berbahasa Inggris klasik, menerjemahkan buku ini memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Namun penerjemah mampu mengalihgagasankan sejumlah idiom dalam buku ini dengan luwes. Upaya ini tampak dari beberapa kata seperti “dong”, “deh”, “duh”, “judes”, “welas asih” , “ngambek”. Favorit saya adalah kata yang diterjemahkan menjadi “amit-amit!”, “daripada ribet”, "cup cup", “Hai, hai Guguk!” (saat Pollyanna menyapa seekor anjing), dan “Hei, ikutan dong!”

Sama luwesnya dengan sampul dan ilustrasi dari buku ini. Dengan sekian banyak versi desain sampul buku ini dari para penerbit lainnya, pose Pollyanna yang tengah mengelus kucing sebagai sampul buku ini, sungguh cantik, berwarna-warni dan eye-catching, namun juga tetap berkesan klasik. 

***
Popularitas buku yang termasuk dalam jajaran buku best seller di Amerika Serikat pada abad 20 ini melahirkan sejumlah papan permainan Glad Game juga Glad Club. Littleton bahkan merayakan "The Official Pollyanna Glad Day" pada setiap musim panas. Beberapa istilah juga muncul kemudian seperti "pollyannaish" dan "Pollyannaism" untuk mendeskripsikan seseorang yang selalu berusaha menemukan sisi menyenangkan dari setiap peristiwa, sesulit apapun itu.

Tak heran. Usai membaca buku ini, saya sempat mencoba memainkan permainan sukacita ala Pollyanna. Keinginan saya terkabul. Kemarin pagi, Raihana, bayi saya yang saat itu berusia 8,5 bulan rewel. Ia melempar setiap mainan yang saya berikan dan menangis untuk hal-hal sepele, sesepele saya pergi mengambil air minum di kulkas.

Padahal, saya berencana untuk pergi ke bank. Sementara ibu saya sedang tidur dan tidak ada orang lain lagi yang bisa dititipi Raihana. Setelah menimbang-nimbang sejenak, saya memutuskan untuk mengajak Raihana bersama saya, dengan menggunakan stroller.

Sepanjang perjalanan Raihana tampak sumringah dan tertawa-tawa ceria. Di bank—karena masih sepi—Raihana juga bebas mengeksplor ruangan dengan merangkak kesana kemari, diikuti tatapan geli para karyawan bank yang baik hati. Sesekali saya juga menjelaskan pada Raihana mengenai aneka slip isian di bank atau benda-benda lain yang menarik matanya, seperti papan kurs valas yang berlampu.

Glad game ala Pollyanna: “Saya senang tadi ibu saya tidur dan Raihana bosan di rumah. Kami jadi bisa berjalan-jalan ke bank dengan kereta bayi dan Raihana belajar hal-hal baru lagi! Alhamdulillah.”

Yay, I did it! Bagaimana dengan Anda? Mau mencoba permainan ini? :)

0 komentar:

Posting Komentar