Jumat, 25 Oktober 2013

Oke Dude, Memangnya Kenapa Kalau Aku Pakai Jilbab?


Judul: Does My Head Look Big in This? (Memangnya Kenapa Kalau Aku Pakai Jilbab?)
Penulis: Randa Abdel-Fattah
Penerjemah: Alexandra Kirana
Penerbit: Gramedia
Genre: Teenlit
Jumlah halaman: 348 halaman
=============================
Tidak ada hal sepele dalam dunia seorang remaja.
Mulai dari masalah jerawat yang dengan sangat tepatnya tumbuh di lubang hidung bagian kanan, perang geng dengan geng cewek-yang merasa-diri-mereka-makhluk-terkeren-sejagat, dan mati-matian jaga gengsi agar tak nampak naksir cowok dari tim debat yang juga jago main basket.

Kombinasikan itu semua dengan kehidupan seorang remaja perempuan keturunan Palestina Muslim di Australia, maka Anda akan berkenalan dengan Amal Abdel-Hakim, tokoh sentral dalam buku ini.

Pada suatu sore, gadis usia tujuh belas tahun ini tengah power-walking di atas treadmill di rumahnya sambil menonton ulang tayangan Friends, saat pencerahan mengetuk kepalanya seketika: ia telah siap mengenakan jilbab.

Daftar Orang yang Oke & Nggak Oke

Keputusan Amal tentu saja memancing banyak reaksi. Mulai dari kedua orangtua, sepupu, guru, kepala sekolah, teman-teman sekolah Amal di McCleans Grammar School, tetangga samping rumah Amal, sampai pelayan di restoran langganan Amal.

Pada awalnya, banyak yang mengira Amal dipaksa oleh orangtuanya. Kepala sekolah Amal, Ms. Walsh, bahkan sempat mengganggap keputusan Amal sebagai upaya pengabaian atas kebijakan seragam sekolah di McCleans.

Tentu saja, ini bukannya tidak diduga sama sekali oleh Amal. Dalam daftar orang-orang yang akan oke dan nggak oke dengan keputusannya berjilbab (hal 23), Ms. Walsh memang berada di nomor sembilan dari daftar orang yang nggak oke.

Sementara daftar orang yang oke beberapa diantaranya adalah: Simone dan Eileen—sahabat Amal di McCleans, Leila dan Yasmeen—sahabat Amal dari sekolahnya dulu, sekolah muslim Hidaya, Samantha sepupunya, dan Mr Pearse—guru favorit Amal di McCleans yang kemudian juga menyediakan ruang kelas kosong di sekolah agar Amal bisa shalat saat istirahat.

Isu Sosial dalam Humor

“It's the sense of touch. In any real city, you walk, you know? You brush past people, people bump into you. In L.A., nobody touches you. We're always behind this metal and glass. I think we miss that touch so much, that we crash into each other, just so we can feel something.” (ujaran tokoh Graham dalam film Crash).

Itulah ujaran tokoh Graham dalam film Crash, suatu film produksi tahun 2004 yang mengangkat tema ras dan stereotipe di Los Angeles. Tema yang juga diangkat Randa dalam novel ini. Ditulis tahun 2005, Randa menampilkan tokoh Eileen yang kerap mendapat perlakuan rasis dari masyarakat karena ia keturunan Jepang.

Begitu pula dengan sahabat Amal lainnya, Leila. Meski Leila selalu meraih nilai A+ dan bercita-cita menjadi pengacara, namun ia harus berbenturan dengan Gulchin, ibunya sendiri. Tak bisa baca tulis dan menikah di usia muda, Gulchin berusaha menjodohkan Leila dengan pria manapun atas dasar pemahaman: perempuan seharusnya tinggal di rumah mengurus anak dan suami, ketimbang sekolah tinggi-tinggi.

Isu sosial lainnya hadir melalui tokoh Simone. Memiliki ukuran tubuh 14 diantara teman-teman bertubuh ramping, Simone berupaya keras untuk menjadi cantik. Ia mati-matian berdiet—bahkan merokok, untuk menekan nafsu makannya.    

Sementara sejumlah isu lain seperti tragedi 9/11, budaya sunat perempuan, peristiwa pemboman di Bali yang menewaskan sejumlah warga Australia juga tak ketinggalan mewarnai buku ini. Tersaji dalam bentuk witty banter antar Amal dengan tokoh lain, tak jarang Randa mengemas isu-isu serius ini dengan humor khas remaja.

Misalnya dialog di halaman 147. Berawal dari ujaran Adam—cowok yang ditaksir Amal, tentang sedikitnya orang muslim di Australia. Dengan sarkastik, Amal berkomentar “Ya, ya, aku tahu itu. Orang Muslim pertama yang pernah ditemuinya! Itu membuatku terdengar kayak alien. Oh itu pertemuan pertamaku dengan orang Muslim! Wow! Aku bahkan membawa kameraku. Nggak sabar kepingin menelepon National Museum. Aku yakin mereka bakal tertarik membuat pameran!”

Atau saat Tia—musuh Amal di sekolah, mengejek jilbab Amal di halaman 83. “Aku benar-benar nggak tahu apa yang akan kulakukan tanpa rambut panjangku! Maksudku, apa bagusnya sih wanita tanpa rambut? Kau harus punya wajah model untuk bisa bertahan menutupi rambutmu.”

Saat itu, dengan cerdas Amal membalas “Aku benar-benar nggak tahu apa yang bakal kulakukan tanpa otak, Simone! Maksudku, apa gunanya seseorang tanpa otak?”

Unsur humor bukannya diselipkan Randa tanpa maksud tertentu. Dalam wawancara dengan Justine Larbalistier (http://justinelarbalestier.com/blog/2010/02/16/guest-post-randa-abdel-fattah-on-writing-identity/), Randa menjelaskan “Using humour to tell Amal’s story was strategic. When I wrote Does My Head Look Big In This? I was acutely conscious that given the breadth of stereotypes and misconceptions I wanted to confront, there was a real risk that I could sound boringly preachy. I therefore found that Amal’s self-deprecating, humorous outlook on life was the best way to humanise ‘the Other’ and avoid preaching to my readers. Humour enabled me to confront people’s misunderstanding of Islam and Muslims without plaguing my characters with a victim complex (oh, plus the fact it’s rare to think of ‘Muslim’ and ‘humour’).”

Lebih jauh, dalam wawancara dengan http://abc.net.au(http://www.abc.net.au/rollercoaster/therap/interviews/s1451590.htm) Randa yang juga Muslim keturunan Palestina-Mesir-Australia ini bertutur tentang masa remajanya saat orang-orang meludahinya dan meneriakinya teroris. Menanggapi itu, Randa berujar “Really the only way you can live with people treating you like a stereotype or people judging you is to have a sense of humour about it.”  

Representasi Islam dari Angle yang Berbeda

Dengan tokoh gadis muslim yang cerdas dan kritis, Does My Head Look Big in This? adalah oase diantara banjir buku bergenre teenlit. Lagi-lagi, ini juga bukannya dilakukan Randa tanpa maksud. Pada Justine Larbalistier, Randa berujar “I mean, how many times do you trawl through the shelves of bookstores only to see that Muslim women only ever feature as protagonists or characters in crude orientalist-type narratives in which women achieve ‘liberation’ because they have ‘escaped’ Islam or are victims of honour killings, domestic violence and oppression because of Islam?”

Dan dalam buku yang memenangi  Australian Book Industry Awards 2006 - Australian Book of the Year for Older Children ini, Randa telah memulai misinya untuk merepresentasikan Islam dari angle yang berbeda. “So far I’ve been navigating identity struggles, family politics, community and relationships. Although works of fiction, I’ve drawn on my own religious identity and ethnic heritage, not because I seek to add another title to the ‘exotic Islamic/Middle Eastern’ bookshelf, but because I believe it is high time contemporary fiction recognised Muslims as human beings and dispensed with the one-dimensional Muslim caricature. For me, it’s about taking ownership over how my faith is represented and narrated.”

0 komentar:

Posting Komentar