Mereka tidak menyingkirkan cermin dari ruangan ini.
Gadis itu tahu mereka telah menyingkirkan gunting, jarum, pencukur bulu, bahkan peralatan makan dari kaca. Ia menyaksikannya kemarin, saat ia diminta keluar kamar dengan ditemani seorang perawat. Seorang perawat yang merokok.
Di luar kamar, ia bisa mendengar orang-orang memeriksa laci-laci dan lemari. Sementara di hadapannya, si perawat berseragam lusuh dengan percikan noda kopi di bagian dadanya, menghembuskan gumpalan-gumpalan asap rokok dengan bosan.
Ia menatap bulatan-bulatan berlubang itu. Pikirnya, tentu akan lebih cantik kalau warna asap bukanlah putih. Putih terlalu menjemukan. Di sini, semuanya berwarna putih. Seprei putih, tirai putih, seragam putih, jaket putih, dinding putih, kaus kaki putih.
Tentu akan berbeda, jika asap rokok itu berwarna ungu, pikirnya. Bulatan-bulatan ungu melayang-layang di udara, melayang-layang di udara.
***
Gadis itu menatap cermin di hadapannya. Sepotong cermin kecil yang hanya menampakkan bayangan kepala. Tanpa dada, tanpa lengan, tanpa kaki, tanpa tubuh. Seperti hantu. Seperti cerita hantu yang didengarnya kemarin di ruang makan, tentang sepotong kepala yang melayang-layang di udara. Tanpa dada, tanpa lengan, tanpa kaki, tanpa tubuh.
Tapi bayangan yang ditatapnya sekarang memang mirip hantu.Ada ceruk hitam yang dalam di bagian matanya, dengan tatapan kosong dan wajah sepucat kertas. Apa gerangan yang dipikirkannya? Apa yang dirasakannya?
Si gadis mulai menggigiti kuku jarinya. Ia selalu menggigiti kukunya saat merasa cemas. Jemari si gadis membelai cermin di hadapannya. Oh hantu yangmalang , tidakkah kita serupa? Gadis itu makin buas mengigiti kuku-kukunya.
Sekilas, matanya menatap setitik warna merah di ujung jemarinya. Tapi hantu tidak mengeluarkan darah, pikirnya cemas. Dan seketika, pikiran itu menghantam kepalanya bertalu-talu. Hantu tidak mengeluarkan darah! Hantu tidak mengeluarkan darah! Hantu tidak mengeluarkan darah!
Gadis itu mulai melempar barang-barang, membanting cermin. Hantu tidak mengeluarkan darah!
Prang!
Pecahan cermin berserakan di lantai. Pelan-pelan, tangan si gadis menjangkau satu pecahan. Menggenggamnya erat-erat, sampai aliran merah merembesi tangannya. Menggoreskan potongan itu pada pipinya, wajahnya, perutnya, lehernya, telinganya sampai genangan merah membasahi gaun putih lusuhnya. Menciptakan kubangan di sekitar tubuhnya.
***
Samar-samar si gadis menyaksikan semuanya. Empat orang perawat membopongnya, mencoba membuka genggaman tangannya. Seragam mereka juga basah oleh warna merah. Lamat-lamat si gadis mendengar seorang berteriak panik "Bagaimana ini bisa terjadi?? Apa yang harus kita sampaikan pada Kepala Perawat??"
Pertanyaan yang coba diuraikan si gadis dalam kepalanya. Namun gadis yangmalang , ia gagal mengingatnya. Mungkin ada hubungannya dengan hantu, pikirnya. Atau kepala yang melayang-layang. Ah, ia merasa letih kini. Letih sekali. Ia harus tidur.
Pelan-pelan, ia pun memejamkan matanya. Dan seketika, sepotong pikiran berkelebat di kepalanya.
Mereka tidak menyingkirkan cermin dari ruangan ini.
***
Gadis itu tahu mereka telah menyingkirkan gunting, jarum, pencukur bulu, bahkan peralatan makan dari kaca. Ia menyaksikannya kemarin, saat ia diminta keluar kamar dengan ditemani seorang perawat. Seorang perawat yang merokok.
Di luar kamar, ia bisa mendengar orang-orang memeriksa laci-laci dan lemari. Sementara di hadapannya, si perawat berseragam lusuh dengan percikan noda kopi di bagian dadanya, menghembuskan gumpalan-gumpalan asap rokok dengan bosan.
Ia menatap bulatan-bulatan berlubang itu. Pikirnya, tentu akan lebih cantik kalau warna asap bukanlah putih. Putih terlalu menjemukan. Di sini, semuanya berwarna putih. Seprei putih, tirai putih, seragam putih, jaket putih, dinding putih, kaus kaki putih.
Tentu akan berbeda, jika asap rokok itu berwarna ungu, pikirnya. Bulatan-bulatan ungu melayang-layang di udara, melayang-layang di udara.
***
Gadis itu menatap cermin di hadapannya. Sepotong cermin kecil yang hanya menampakkan bayangan kepala. Tanpa dada, tanpa lengan, tanpa kaki, tanpa tubuh. Seperti hantu. Seperti cerita hantu yang didengarnya kemarin di ruang makan, tentang sepotong kepala yang melayang-layang di udara. Tanpa dada, tanpa lengan, tanpa kaki, tanpa tubuh.
Tapi bayangan yang ditatapnya sekarang memang mirip hantu.
Si gadis mulai menggigiti kuku jarinya. Ia selalu menggigiti kukunya saat merasa cemas. Jemari si gadis membelai cermin di hadapannya. Oh hantu yang
Sekilas, matanya menatap setitik warna merah di ujung jemarinya. Tapi hantu tidak mengeluarkan darah, pikirnya cemas. Dan seketika, pikiran itu menghantam kepalanya bertalu-talu. Hantu tidak mengeluarkan darah! Hantu tidak mengeluarkan darah! Hantu tidak mengeluarkan darah!
Gadis itu mulai melempar barang-barang, membanting cermin. Hantu tidak mengeluarkan darah!
Prang!
Pecahan cermin berserakan di lantai. Pelan-pelan, tangan si gadis menjangkau satu pecahan. Menggenggamnya erat-erat, sampai aliran merah merembesi tangannya. Menggoreskan potongan itu pada pipinya, wajahnya, perutnya, lehernya, telinganya sampai genangan merah membasahi gaun putih lusuhnya. Menciptakan kubangan di sekitar tubuhnya.
***
Samar-samar si gadis menyaksikan semuanya. Empat orang perawat membopongnya, mencoba membuka genggaman tangannya. Seragam mereka juga basah oleh warna merah. Lamat-lamat si gadis mendengar seorang berteriak panik "Bagaimana ini bisa terjadi?? Apa yang harus kita sampaikan pada Kepala Perawat??"
Pertanyaan yang coba diuraikan si gadis dalam kepalanya. Namun gadis yang
Pelan-pelan, ia pun memejamkan matanya. Dan seketika, sepotong pikiran berkelebat di kepalanya.
Mereka tidak menyingkirkan cermin dari ruangan ini.
***
0 komentar:
Posting Komentar