IN THE BEGINNING there was a river. The river became a road and the road branched out to the whole world. And because the road was once a river it was always hungry.
In that land of beginnings spirits mingled with the unborn. We could assume numerous forms. Many of us were birds. We knew no boundaries. There was much feasting, playing, and sorrowing. We feasted much because of the beautiful terrors of eternity. We played much because we were free. And we sorrowed much because there were always thoose amongst us who had just returned from the world of the Living. They had returned inconsolable for all the love they had left behind, all the suffering they hadn’t redeemed, all that they hadn’t understood, and for all that they had barely begun to learn before they were drawn back to land of origins.
There was not one amongsts us who looked forward to being born. We disliked the rigours of existence, the unfulfilled longings, the enshrined injustices of the world, the labyrinths of love, the ignorance of parents, the fact of dying, and the amazing indifference of the Living in the midst of the simple beauties of the universe. We feared the heartlessness of human beings, all of whom are born blind, few of whom ever learn to see.
Terjemahan saya adalah:
MULANYA adalah sebuah sungai. Kemudian sungai menjelma menjadi jalan dengan cabang-cabang jalan yang menjulur ke dunia nyata. Dan karena tercipta dari sungai, jalan itu selalu lapar.
Di tanah itulah roh-roh awal berbaur dengan roh yang belum lahir. Kami bisa menjelma menjadi aneka bentuk. Sebagian dari kami beralih menjadi burung. Kami tak mengenal batas. Kami kerap berpesta, bermain, dan berduka. Kerap berpesta karena alangkah indahnya teror keabadian. Kerap bermain karena kami merasa bebas. Dan kami kerap berduka karena selalu saja ada roh teman kami yang kembali dari dunia Kehidupan. Mereka kembali dengan segenap penyesalan atas semua cinta yang telah mereka tinggalkan, segala derita yang tak tertebus, seluruh hal yang tak mereka pahami, serta untuk seluruh hal yang baru mulai mereka pelajari sebelum dicerabut kembali ke tanah kelahiran.
Tiada satupun dari kami yang menanti untuk dilahirkan. Kami tak suka kehidupan yang kaku, hasrat yang tak terpuaskan, ketidakadilan yang berurat akar di dunia, labirin cinta, ketidaktahuan orang tua, kematian yang nyata, dan Kehidupan yang luar biasa tak acuh pada keindahan bersahaja di alam semesta. Kami ngeri pada kekerasan nurani para manusia, yang semuanya terlahir buta, betapa sedikit yang belajar meneropong dengan mata hati.
Dan setelah diedit (dengan editan di-bold), menjadi:
MULANYA adalah sebuah sungai. Kemudian sungai menjelma menjadi jalan dengan cabang-cabang yang menjulur ke dunia nyata. Dan karena tercipta dari sungai, jalan itu selalu lapar.
Di tanah itulah roh-roh awal berbaur dengan roh yang belum lahir. Kami bisa menjelma menjadi aneka bentuk. Sebagian dari kami beralih menjadi burung. Kami tak mengenal batas. Kami kerap berpesta, bermain, dan berduka. Kerap berpesta karena teror keabadian sungguh indah. Kerap bermain karena kami merasa bebas. Dan kami kerap berduka karena selalu saja ada roh teman kami yang kembali dari dunia Kehidupan. Mereka kembali dengan segenap penyesalan atas semua cinta yang telah mereka tinggalkan, segala derita yang tak tertebus, seluruh hal yang tak mereka pahami, serta untuk seluruh hal yang baru mulai mereka pelajari sebelum dicerabut kembali ke tanah kelahiran.
Tiada satu pun dari kami yang menanti dilahirkan. Kami tak suka kehidupan yang kaku, hasrat yang tak terpuaskan, ketidakadilan yang berurat akar di dunia, labirin cinta, ketidakpedulian orang tua, kematian yang nyata, dan Kehidupan yang luar biasa tak acuh pada keindahan bersahaja di alam semesta. Kami ngeri pada kekerasan nurani para manusia, yang semuanya terlahir buta, betapa sedikit yang belajar meneropong dengan mata hati.
0 komentar:
Posting Komentar