Teks asli:
New Hampshire’s forty-shilling note was printed on a rectangular piece of paper, and the text read from top to bottom, like a page out of a book. The bill was adorned with a large royal seal and various images: columns of acanthus leaves wreathed its borders, scrolls coiled and unfurled across the page, a pine tree stood at the center. The note’s designers had introduced these flourishes to dissuade counterfeiters, who couldn’t reproduce such elaborate designs without real technical skills. These details had another, more abstract purpose: they gave the bill a certain gravity, so as to reassure people that an inked slip of paper equaled a certain quantity of silver or gold. Aside from discouraging forgers, the intricate handiwork helped bolster people’s confidence in the colony’s currency.
To make the plate, Sullivan had to engrave everything backward. It was tedious, painstaking work. Each curlicued letter and drooping leaf had to be carved into the copper as a mirror image, so that when the plate was inked and run through a printing press, the resulting bill would look right. He etched the front of the note on one side of the copper sheet and the back on the other. The finished product must have looked peculiar, but anyone who glimpsed it sitting in Sullivan’s cell—a brown pane inscribed with delicately executed, illegible glyphs—would have known what it was for.
Saat membaca teks ini, saya kemudian meriset istilah yang saya tebalkan, yaitu: note, certain gravity, plate, cell. Untuk note, plate dan cell, saya berusaha menyesuaikannya dengan konteks. Demikian pula dengan idiom certain gravity. Terjemahan saya adalah:
Sertifikat obligasi New Hampshire senilai empat puluh shilling dicetak di atas selembar kertas persegi, dan teks dibaca dari atas ke bawah, seperti halaman buku. Sertifikat tersebut dihiasi dengan satu segel besar kerajaan dan beragam gambar: kolom dari daun acanthus yang melingkar-lingkar di bagian tepi, gagang kail dan jika dibentangkan, sebatang pohon cemara menjulang di bagian tengah. Perancangnya mengenalkan konsep tulisan berhias ini untuk mewaspadai pemalsu, yang tak akan sanggup meniru rancangan yang demikian rumit ini tanpa keterampilan teknis tingkat tinggi. Detil-detil ini juga memiliki tujuan yang lebih abstrak: memberi nilai tinggi pada sertifikat obligasi, sehingga dapat menenteramkan masyarakat bahwa selembar kertas bertulisan ini setara nilainya dengan emas atau perak dalam jumlah tertentu. Disamping menciutkan nyali pemalsu, pekerjaan tangan yang rumit ini membantu menyokong gengsi masyarakat kolonial.
Untuk menciptakan pelat, Sullivan harus mengukir semuanya secara terbalik. Sungguh suatu pekerjaan yang makan waktu. Setiap lengkung huruf dan helai daun harus diukir pada tembaga bagai bayangan cermin, sehingga saat pelat diisi tinta dan bekerja dalam mesin cetak, hasil akhir sertifikat akan nampak tepat. Dia mensket bagian depan sertifikat pada satu sisi pelat tembaga dan bagian belakangnya pada sisi yang lain. Sketsa akhirnya pasti nampak ganjil, namun siapapun yang melihatnya dari ruang kerja Sullivan—sebuah ruang dengan kaca cokelat berukir tulisan kuno yang sangat halus dan tak terbaca —akan paham maksudnya.
Dan setelah diedit (dengan editan di-bold), teks terjemahan menjadi:
Sertifikat obligasi New Hampshire senilai empat puluh shilling dicetak di atas selembar kertas persegi, dan teks dibaca dari atas ke bawah, seperti halaman buku. Sertifikat tersebut dihiasi satu segel besar kerajaan dan beragam gambar: kolom dari daun acanthus yang melingkar-lingkar di bagian tepi, gagang kail dan, jika dibentangkan, sebatang pohon cemara menjulang di bagian tengah. Perancangnya memelopori konsep tulisan berhias ini untuk mewaspadai pemalsu, yang tak akan sanggup meniru rancangan yang demikian rumit ini tanpa keterampilan teknis tingkat tinggi. Detail-detail ini juga memiliki tujuan yang lebih abstrak: supaya sertifikat obligasi bernilai tinggi, sehingga dapat menenteramkan masyarakat yang mengetahui bahwa selembar kertas bertulisan ini setara dengan emas atau perak dalam jumlah tertentu. Di samping menciutkan nyali pemalsu, pekerjaan tangan yang rumit ini membantu menyokong gengsi masyarakat kolonial.
Untuk menciptakan pelat, Sullivan harus mengukir semuanya secara terbalik. Sungguh suatu pekerjaan yang makan waktu. Setiap lengkung huruf dan helai daun harus diukir pada tembaga bagai bayangan cermin, sehingga saat pelat diisi tinta dan diproses dalam mesin cetak, hasil akhir sertifikat akan tampak tepat. Dia mensket bagian depan sertifikat pada satu sisi pelat tembaga dan bagian belakangnya pada sisi yang lain. Sketsa akhirnya pasti tampak ganjil, namun siapa pun yang melihatnya dari ruang kerja Sullivan—sebuah ruang dengan kaca cokelat berukir tulisan kuno yang sangat halus dan tak terbaca —pasti dapat menerka.
0 komentar:
Posting Komentar