Judul: One Amazing Thing
Penulis: Chitra Banerjee Divakaruni
Penerjemah: Sujatrini Liza
Penyunting: Nuraini Mastura
Penerbit: Qanita
================
“Bukanlah hal yang tidak biasa di kota ini untuk menemukan orang-orang dari ras berbeda berkumpul bersama.” (hal 10) Namun dikombinasikan dengan gempa bumi yang membuat orang-orang ini terjebak bersama dan butuh media pelampiasan stres, membuka kotak ingatan akan sembilan kisah masa silam
Mulai dari kisah cinta saat perang, pernikahan yang terasa hampa, pengkhianatan, godaan, sampai kematian. Mencoba berbagi harapan, sembilan tokoh dalam buku ini pun duduk mendengarkan.
Sembilan Kisah Menakjubkan
Kisah pertama dimulai dari Jiang, seorang lansia China yang mengungkapkan kisah cinta masa mudanya dengan seorang pemuda India. Dilanjutkan dengan kisah Mr Pritchett tentang masa kanak-kanaknya bersama sang ibu yang orang tua tunggal.
Malathi, seorang gadis India berkisah tentang pekerjaan terdahulunya di salon kecantikan. Sementara Tariq, seorang remaja muslim di Amerika menuturkan dampak peristiwa 9 September pada keluarganya.
Berusia remaja seperti Tariq, Lily—cucu Jiang, bercerita tentang upayanya meraih perhatian orangtua. Sementara Mangalam, seorang pria India yang tampan, berkisah tentang paradoks antara keberuntungan dan musibah.
Kisah favorit saya adalah kisah istri Mr Pritchett—Mrs Pritchett. Mengungkapkan awal mula penyebabnya melakukan bunuh diri, Mrs Pritchett bercerita tentang cinta dan romantisme pasangan lansia yang sekilas dilihatnya di suatu kafe.
Dua tokoh lain, yaitu Uma dan Cameron memang belum bercerita secara langsung pada tujuh tokoh lain dalam buku ini.
Namun Chitra Banerjee Divakaruni membagi kisah mereka pada pembaca dalam bentuk komunikasi intrapersonal. Seperti saat Cameron merenungi keinginannya dulu untuk memperbaiki nasib, aborsi pacarnya kala remaja, mimpi-mimpi buruknya sepulang dari Perang Vietnam, dan tumpuan harapan pada anak angkatnya.
Sementara Uma, sang pencetus ide berbagi cerita ini, mengenang keindahan aurora borealis yang pernah dilihatnya. “Betapa bodohnya manusia bepergian keliling dunia untuk mencari sejarah. Di bawah tulang bahuku dan di atas kepalaku terpampang sejarah paling tua dari semuanya: bumi dan langit.” (kesan Uma saat menatap aurora, hal 402).
Pekatnya Nuansa dalam Deskripsi
Penokohan karakter yang kuat serta deskripsi yang memikat dalam novel ini membuat saya seolah-olah berada dalam setiap kisah. Dalam kisah Mrs Pritchett misalnya.
Romantisme pasangan lansia yang dilihat wanita itu sesungguhnya hanyalah hal-hal sederhana. Sesederhana si suami membantu istrinya melepas mantel, dengan sabar menunggu sang istri melepas tongkat jalan dari satu tangan ke tangan lain. Atau sesederhana si pria mencondongkan kepala pada istrinya, untuk mendengarkan lebih baik pesanan istrinya, untuk kemudian membagi dua pesanan mereka: kue lemon persegi bertabur gula dan éclair yang sangat besar (hal 330-331).
Seperti Mrs Pritchett, saya juga terkesan saat si pria menjentikkan noda dari lengan mantel istrinya. “Rasa sayang di balik sikap tersebut, meskipun sang istri dengan penglihatan yang buruk takkan pernah memperhatikan apa pun yang ada di lengan mantel itu.” (hal 331).
Gratitude Attitude
Membaca novel setebal 410 halaman ini membuat saya lagi-lagi belajar bersyukur. Betapa dengan kondisi kritis makanan, air, penghangat dan baterai senter, sembilan tokoh ini masih berusaha saling menguatkan. Seperti ujaran Oprah Winfrey “It’s not easy being grateful all the time. But it’s when you feel least thankful that you are most in need of what gratitude can give you.”
0 komentar:
Posting Komentar