Kamis, 24 Oktober 2013

Menemukan Tambatan Hati di Biro Jodoh Mr Ali


Judul Buku: The Marriage Bureau for Rich People (Biro Jodoh Khusus Kaum Elite)
Penulis: Farahad Zama
Penerjemah: Rini Nurul B.
Editor: Lulu F Rahman
Desain sampul: Anne Marianne
Penerbit: Matahati

Rezeki, jodoh, maut ada di tangan Tuhan. Tentu saja, ini merupakan aksioma--suatu kebenaran yang tak terbantahkan. Namun, karena dalam agama Islam Allah juga menganjurkan umat-Nya untuk berikhtiar, maka kita juga harus berupaya menemukan jodoh kita dan tidak duduk duduk diam saja berpangku tangan.
Salah satu bentuk ikhtiar yang diyakini Mr Ali, seorang pensiunan Muslim di India, adalah dengan membuka biro jodoh. Dengan memanfaatkan ruang iklan surat kabar, setumpuk kartu pos, dan beranda rumahnya sebagai kantor, Mr Ali membuka Biro Jodoh Ali untuk Kaum Elite, yang menyediakan jasanya untuk aneka kalangan, seperti: Muslim, Hindu, dan Kristen.

Cara kerja Mr Ali adalah dengan memasang suatu iklan kliennya di surat kabar—yang umumnya ditulis tanpa nama. Iklan dari klien pertama Mr Ali misalnya, berbunyi: “Baliga Kapu, gaji enam digit, harta delapan digit mencari calon istri yang cantik dari kasta yang sama..” Setelah menerima surat dari pelamar yang berminat, Mr Ali akan menyimpan data pelamar tersebut secara sistematis dalam berkas dokumen kantornya. Kemudian, Mr Ali akan membalas surat si pelamar dan mengajaknya bergabung di Biro Jodoh Ali agar mendapatkan lebih banyak pilihan.

Data para pelamar yang memenuhi kriteria klien akan disampaikan Mr Ali pada si klien. Jika si klien dan keluarganya berminat, tahap perkenalan dan lamaran akan dilakukan mereka sendiri, tanpa campur tangan Mr Ali.

Meski pekerjaan Biro Jodoh ini terkesan demikian administratif, Mr Ali juga selalu menemui tantangan dalam bentuk yang beragam. Mulai dari seorang klien yang kemampuan komunikasi interpersonalnya kurang sehingga kurang mampu mempromosikan dirinya sendiri, klien yang menginginkan calon mempelai pria yang bertubuh tinggi, klien yang telah bercerai, atau bahkan klien yang demikian sempurnanya sampai-sampai Aruna, asisten Mr Ali, bertanya-tanya, kenapa si klien sempurna ini masih memerlukan biro jodoh untuk mencari calon pengantinnya.

Di sinilah berperan kematangan emosi dan kecakapan keterampilan komunikasi Mr Ali sebagai pemilik Biro Jodoh. Sebagai orangtua yang telah makan asam garam dalam hidup dan pernikahan, Mr Ali juga kerap memberikan wejangan menyejukkan, yang juga saya camkan sebagai bahan pelajaran dalam pernikahan. Seperti: “Pernikahan itu soal kompromi. Kehidupan perkawinan adalah anugerah terbesar kalau kau mau berkompromi,” (hal 354-355).

Juga di hal 372: “Akan timbul konflik antara orangtuamu, terutama ibumu dan istrimu. Bagaimanapun dia memasuki rumah tangga yang sudah mapan dan mungkin terkesan mengacaukannya. Selain itu, orangtuamu bisa merasa tak nyaman. Mereka mungkin merasa kehilangan anak dan menyerahkannya pada perempuan asing ini. Kau tak boleh membutakan diri dari konflik seperti ini. Kau harus bersikap tegas pada masalah-masalah ini, tidak selalu berpihak pada istrimu, tapi juga tak selalu mendukung orangtuamu. Kau boleh mengharapkan istrimu mengubah beberapa hal…Tapi kau pun harus memberitahu orangtuamu bahwa beberapa hal akan sangat berbeda dengan adanya menantu perempuan di rumah. Istrimu harus tahu ketika kau membicarakan ini dengan orangtuamu, jangan sampai dia merasa terabaikan dan seorang diri seolah tak ada yang membelanya di dunia ini. Ini tugas berat. Seorang pria mungkin merasa terjepit di antara kewajiban sebagai anak dan suami. Tapi tak ada yang pernah bilang bahwa menjadi laki-laki itu mudah.”

***

Sepanjang membaca buku ini, saya bertanya-tanya, apakah sang penulis, Farahad Zama juga dijodohkan. Jawabannya saya temukan dalam suatu artikel di New York Times.

Dalam artikel dua halaman yang terbit pada 5 Juni 2009 ini, Farahad bertutur tentang perjodohannya dengan Sameera. Dua puluh satu tahun yang lalu, Farahad tengah berlibur di rumah keluarganya di India Selatan. Saat itu, sang ibu bertanya “What kind of girl do you want to marry?”

Usai Farahad menjawab bahwa ia menginginkan “a college graduate who could speak English”, orangtuanya segera mengatur pertemuannya dengan Sameera. Hanya dalam tempo dua bulan setelah pertemuan pertamanya dengan Sameera, mereka menikah. Bersama Sameera dan dua jagoan kecilnya, kini mereka tinggal di London.

“How could you marry somebody you did not know?” is a common question that many people have asked us in the West, ujar Farahad mengenai pernikahannya, dalam artikel New York Times di atas. Yang dijelaskannya dengan “The slow discovery of another person and the unraveling of layers of mystery are part of the fun of arranged marriage.”

***

Tidak mudah menerjemahkan puisi berrima atau lirik lagu bahasa asing menjadi bahasa Indonesia. Tak hanya perlu kosakata yang kaya, namun juga ‘feel’ yang tepat untuk merangkaikannya.

Dan penerjemah serta editor menangkap 'feel' sejumlah lirik lagu dalam buku yang telah diterjemahkan dalam delapan bahasa ini, lalu menerjemahkannya dengan indah. Favorit saya adalah di halaman 431:

“Pergilah, putriku, ke rumah barumu, dengan restu ayahanda:
Semoga kau tak terus ingat aku, agar duka tak pernah melanda.
Kubesarkan kau bagai bunga yang rapuh, merekah wangi di taman kami,
Semoga mulai sekarang hanya ada musim semi.
Semoga kau tak terus ingat aku, agar duka tak pernah melanda.
Pergilah, putriku, ke rumah barumu, dengan restu ayahanda.”

Membaca ini sungguh membuat saya berlinang air mata, terkenang hari pernikahan saya dua tahun lalu. 

***
Sampul adalah salah satu faktor pemikat pembaca. Dan sampul Biro Jodoh Khusus Kaum Elite ini berhasil mencuri hati saya. Mulai dari detil karakter pasangan pria dan wanitanya yang sungguh-sungguh mirip dengan bayangan saya saat membaca buku ini, detil sulur bunga yang pas, sampai warna yang kalem. Saya tidak pandai menggambar ataupun mendesain sampul buku memang, tapi kesan keseluruhan saya dari sampul ini adalah: budaya India yang anggun dan berkelas, pas dengan judul.

***

Secara pribadi, membaca buku ini membuat saya merenungkan banyak hal dalam pernikahan. “Berdasarkan pengalaman, Mr Ali tahu bahwa cinta romantis ini hanya akan bertahan beberapa tahun dan mereka harus mencari jalan lain untuk langgeng seumur hidup” (halaman 440).

Seperti yang ditulis Iris Krasnow dalam Surrendering to Marriage: Husbands, Wives, and other Imperfections: “Here’s what I’ve learned after twelve years with Chuck: I did not marry the wrong person; there’s plenty of hate that comes with love; and although I wish I didn’t have to try so hard to make my marriage work, I know that I do. Everybody does.”

Begitu pulakah dengan Farahad?

Dalam artikel NY Times di atas, Farahad berujar “What I am sure about is that our marriage, arranged with other considerations in mind, took us from acquaintance to love and kept us together until we realized that our differences are the yin and yang that make our relationship whole. Now we consider ourselves absolutely perfect for each other. Somewhere in that is a lesson, I am sure.”

***

0 komentar:

Posting Komentar