Jumat, 25 Oktober 2013

Perjalanan Panjang Menemukan Jalan Cahaya


Judul buku: Hikari no Michi (Jalan Cahaya), Catatan Cinta Mualaf dari Negeri

Matahari Terbit
Penulis : Takanobu Muto, Tethy Ezokanzo, Rose FN, dan para penulis FLP Jepang
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House (LPPH)
Jumlah hal: 192 hal

Kita adalah jiwa-jiwa yang gelisah.


Seperti Lionel Wallace, tokoh yang terdapat dalam salah satu cerpen karya H.G. Wells. Dalam cerpen berjudul The Door in the Wall ini, Lionel yang gelisah menemukan Happy Garden (Taman Kebahagiaan). Sebuah taman dimana seluruh warna di dunia tampil dengan demikian terangnya, demikian cantiknya. Suatu tempat dimana seluruh aroma duka nestapa menguap, dan setiap napas yang terhembus adalah bahagia. Sebuah taman kebahagiaan.

Happy Garden sulit ditemukan. Lionel pertama kali mengenalnya saat ia masih berusia 5 tahun. Kala itu ia menemukan sebuah pintu berwarna hijau yang menempel pada sebentuk dinding putih. Kemunculan tiba-tiba tembok berpintu sebagai gerbang Happy Garden ini, seketika melahirkan obsesi tersendiri bagi seorang Lionel. Karena sejak saat itu, nyaris seumur hidupnya dihabiskan untuk mencari pertanda akan keberadaan Happy Garden dan gerbangnya.

Cerpen surealis ini ditulis oleh H.G. Wells sekitar abad 18. Namun tetap saja saya kagum pada kekuatan imajinasi dan kedalaman filosofi H.G. Wells akan "makna sebuah pencarian." Betapa sebagai khalifah dan musafir di bumi ini, manusia selalu berada dalam perjalanan. Proses pencarian akan suatu kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki.

Betapa Happy Garden versi H.G. Wells masih dapat diterjemahkan secara luas dalam beragam symbol dan definisi. Dan dalam buku Hikari no Michi ini, definisi itu bernama: Jalan Cahaya.

Betapa di jalan ini, kebenaran yang hakiki adalah kebenaran Ilahi. Kebenaran yang bersumber dari Allah, hanya diucapkan dan bisa dijanjikan oleh Allah. Asyhadu ala ilaa ha illallahu…wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. (Hamba bersaksi, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan hamba bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).
***

Jalan Cahaya bisa ditemukan melalui banyak rute dan peta yang berbeda.

Ada yang menemukannya dalam kesunyian. Ada yang menemukannya saat berada di kedalaman titik nol kilometer jurang depresi. Ada yang menemukannya lewat diskusi intelektual dan proses belajar membandingkan sejumlah kitab suci. Ada yang menemukannya lewat perantara kekasih dan pendamping hati. Bahkan ada yang menemukannya lewat perantara yure (jin) dan mimpi, suatu rute penemuan hidayah yang sungguh-sungguh di luar akal dan keterbatasan pikiran manusia. Subhanallah.

Abe Yukie-san, Suguro-san, Halimah-san, Takeda-san, Suguro-san, Tokita-san, Muto-san, Najia-san, Shiori-san, Ikuko-san, Sinji, dan Abdussalam adalah sebagian dari mereka. Dimana proses pengenalan Islam awalnya hanya berdasarkan ketertarikan akan hal-hal yang mereka dengar tentang Islam. Seperti misalnya larangan makan babi dan perintah Allah bagi muslimah untuk mengenakan jilbab.

Namun tak jarang, ketertarikan mereka akan Islam juga berawal dari hal-hal sederhana dalam Islam. Seperti misalnya, budaya tolong menolong, mengucapkan salam, menghormati dan mencium tangan Ibu. Betapa indahnya ucapan salam saling mendoakan keselamatan antar sesama muslim dan muslimah. Betapa mulianya keberadaan Ibu dalam Islam. Dan betapa menyejukkan hati, alunan ayat suci Allah
yang dilantunkan dengan sepenuh hati. Seperti yang dirasakan oleh Ikuko-san (dituturkan oleh Lia Octavia, dengan judul artikel "Sekuntum Cinta dari Negeri Sakura", hal 39): "Hangat menyelimuti seluruh jiwanya. Menerobos masuk ke dalam sudut-sudut kesadarannya yang terdalam. Jalan yang lurus. Jalan itu lurus bersimbah cahaya. Di kiri, kanan, dan juga di atasnya. Cahaya itu menggenggam jiwa Ikuko erat. Seluruh tubuhnya berguncang. Mimpikah ia? Tidak. Ikuko tidak sedang bermimpi. Cahaya itu ada di hadapannya. Dan kalaupun ia sedang bermimpi, Ikuko tidak mau bangun lagi. Jalan itu… jalan yang lurus" Subhanallah.
***

Namun, meski lurus dan bersimbah cahaya, Jalan Cahaya bukanlah jalan yang serta merta mudah dan bebas hambatan. Setelah berikrar sebagai muslim, para mualaf dalam kisah-kisah buku ini pun menemui satu demi satu cobaannya. Ada yang berupa reaksi keras penolakan keluarga besar. Ada yang berupa tekanan dalam pekerjaan dan pengucilan dalam pergaulan. Ada yang berupa kekerasan hati dari pasangan.

Betapapun berwarna-warni cobaan itu, mereka berusaha menghadapinya dengan tabah. Dan betapa dengan segala keterbatasan mereka sebagai mualaf, mereka tetap berusaha keras mengamalkan ajaran Islam dalam setiap sel kehidupan.

Usaha pengamalan Islam yang membuat saya terharu seketika.

Sungguh saya terharu akan kelapangan Suguro-san menyodorkan uang senilai lima ribu yen pada Lisza Anggraeny (dituturkan oleh Lisza Anggraeny, dengan judul artikel "Tachikawa, Disini Ada Cerita", hal 31) yang kehilangan dompet dan kartu langganan kereta, dengan ucapan Suguro-san setelahnya "Kita muslim, harus saling bantu, kan?"

Hal sama yang juga dilakukan oleh Abdussalam (dituturkan oleh Tethy Ezokanzo, dengan judul artikel "Meniti Jalan Hidayah" hal 94-96) ketika mengantar orang-orang Indonesia JICA ke Bandara Narita, sekaligus mengajak mereka makan di restoran. Tak hanya itu, saat itu, Abdussalam juga memberikan seluruh sisa uang miliknya saat itu pada seorang muslimah yang kekurangan uang untuk membeli karcis ke Saitama. Sedekah yang membuat Abdussalam memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahnya, yang memakan waktu dua jam perjalanan. Sedekah yang saat itu juga langsung diganti Allah, ketika seorang teman menelpon Abdussalam mengajak minum teh di sebuah kafe dan seketika mengeluarkan seluruh isi uang di dompetnya, yang totalnya berjumlah tujuh puluh ribu yen. Subhanallah. Sungguh besar kuasa Allah.

Sama terharunya saya saat sosok Mbak Sumi dengan bahagia mengabarkan via e-mail pada Sri Zein (dituturkan oleh Sri Zein, dengan judul artikel "Menjaga Mutiara Hati", hal 68-69), bahwa Takeda-san, suami Mbak Sumi, sudah mau makan daging halal. "Duh senangnya, akhirnya sekarang saya tidak sembunyi-sembunyi lagi untuk membeli daging halal, Mbak…" tulis Mbak Sumi dalam e-mailnya.

Usaha pengamalan dan pendalaman mereka akan Islam, juga membuat saya salut dan berdecak kagum.

Sungguh saya salut akan keputusan Abe Yukie-san menggunakan uang hasil kerja paruh waktunya untuk belajar Islam di Malaysia (dituturkan oleh Rose FN, dengan judul artikel "Nisa-san, Sang Mualaf Plus", hal 21), dan Sinji untuk belajar Islam selama sebulan di Surabaya (dituturkan oleh Mulla Kemalawaty, dengan judul artikel "Di Serambi Mekkah Kutemukan Hidayah", hal 119) setelah sebelumnya mulai mengenal kehangatan cinta kasih Islam di Aceh.

Sungguh saya kagum akan perjuangan seorang muslimah Jepang, istri orang Rusia, yang walau sedang hamil tujuh bulan memutuskan untuk bersepeda menuju masjid di tengah cuaca dingin, demi menunaikan ibadah shalat tarawih pertamanya (dituturkan oleh Tethy Ezokanzo, dengan judul artikel "Tetesan Hidayah di Bulan Penuh Berkah" hal 54). Dan betapa wanita itu masih sanggup berdiri sampai rakaat
selesai. Subhanallah.

Sama kagumnya saya akan sosok Aminah-san (dituturkan oleh Rose FN, dengan judul artikel "Allah Memanggil Hati Aminah-san", hal 63), yang di waktu luangnya diamalkan untuk mencari para homeless yang terdampar di pinggir jalan, di emperan stasiun kereta, juga taman-taman di Jepang. Dengan telaten, Aminah-san akan mencarikan rumah penampungan, mengecek kebutuhan makanan dan minuman mereka, sekaligus mengetahui kemajuan berislam mereka. Semua dengan satu niatan tulus Aminah-san "Saya ingin berbuat sesuatu untuk agama saya, ingin mempunyai lebih banyak saudara seiman dan sebangsa."

Niatan tulus sama juga diikrarkan oleh sekelompok orang Pakistan yang datang ke Jepang tahun 1982 (dituturkan oleh Tethy Ezokanzo, dengan judul artikel "Islam, Cinta Pertamanya", hal 145-147). Tanpa informasi yang memadai tentang komunitas muslim di Jepang, rombongan Pakistan ini menginap di bandara selama satu minggu. Tempat dimana mereka melaksanakan program harian, membaca Al Quran, shalat, dan taklim.

Setelah akhirnya dilarang untuk menginap di bandara, mereka pun menyewa sebuah apato mungil di Tokyo, yang dilanjutkan dengan perjalanan ke Kyushu. Semua dengan niatan murni, untuk berdakwah mengenalkan Islam ke setiap orang yang mereka temui.

Dan haru ini semakin memuncaki dada, saat saya membaca sosok Najia-san (dituturkan oleh Tethy Ezokanzo, dengan judul artikel "Mukena Cantik Najia-san" hal 139), yang berupaya keras mencari mukena di Sapporo. Karena kesulitan menemukannya, Najia-san pun kemudian memodifikasi sprei berbunga-bunga miliknya menjadi sebuah mukena. Subhanallah.

Air mata saya pun meleleh seketika saat membaca perjuangan suami Rose FN untuk mengucapkan salam dan kalimat "Fii amanillah" dalam suatu simulasi setelah pengajian di Jepang (dituturkan oleh Rose FN, dengan judul artikel "Mualaf, Salam, dan Myouji Islam", hal 43). Betapa dengan lidah orang Jepang yang terbiasa berbahasa Jepang, suami Rose FN berulang kali salah melafalkan L sebagai R. Dan betapa buah hati mereka dengan bersemangatnya, mendukung ayah mereka dengan meneriakkan yel-yel "Ayo berjuang, Papa!"

Ah, Cinta …
***

Sulit rasanya untuk tidak berkaca pada buku ini.

Apalagi saya sebagai seorang muslimah, yang terlahir di keluarga muslim, dan dibesarkan di Negara yang mayoritas muslim. Tempat dimana saya tidak kesulitan menemukan mushalla atau masjid untuk menunaikan shalat, juga tak perlu resah mencari makanan dan minuman halal. Berbagai kemudahan yang mungkin jadi terlupakan nikmatnya. Taken for granted.

Padahal, di lain sisi, kemudahan yang saya rasakan justru merupakan hal-hal yang terasa mewah bagi komunitas muslim di Jepang. Seringkali, untuk menunaikan shalat tepat waktu, mereka harus siap melakukannya di tempat umum. Seperti misalnya di taman, atau museum. Dengan bermodalkan kompas, dan beralaskan sehelai kain sederhana, mereka menghadap Sang Pencipta.

Tak jarang, muncul pandangan aneh dari masyarakat Jepang yang kebetulan menyaksikan seorang muslim sedang shalat di tempat umum. Namun seperti yang dituliskan Rose FN di hal 168 "Menyikapi perlakuan seperti ini, sikap hanif harus ditunjukkan. Jika kita sudah berlapang dada tas ketidaktahuan mereka, maka dengan sendirinya kita akan nyaman untuk melaksanakan shalat di tempat umum, bahkan nantinya akan timbul keinginan kuat dalam hati kita untuk semakin mengenalkan shalat sebagai wujud dakwah amal kita". Insya Allah.

Dan kepada para saudara muslim saya di Jepang, perkenankan saya menghaturkan sekuntum doa dari jauh: "Bismillahirahmanirrahiim, Alhamdulillaahi Rabbil `aalamiin. Arrahmaanir Rahiim, Maaliki yaumid diiin. Iyyaka na'buduwa iyyaka nasta'iin. Ihdinas siraatal mustaqiim. Siraatal ladziina an'amta `alayhim
ghayril magduubi `alayhim waladdaalliin. Aamiin.." (Surat Al Fatihah)

Selamat menyusuri Jalan Cahaya.

***

0 komentar:

Posting Komentar