Kamis, 24 Oktober 2013

700 Minggu Terindah

Judul : 700 Sundays
Penulis : Billy Crystal
Penerbit : Warner Books
Jumlah hal : 182 halaman

Sebagai pecinta komedi, saya hobi mengoleksi buku-buku yang ditulis oleh para komedian. Seperti misalnya, Seinlanguage (ditulis oleh Jerry Seinfeld), Couplehood (ditulis oleh Paul Reiser), My Point and I Do Have One (ditulis oleh Ellen DeGeneres), If Life is a Bowl of Cherries, what am I Doing in the Pitts? (ditulis oleh Erma Brombeck), sampai Jomblo dan Gege Mengejar Cinta (ditulis oleh Adhitya Mulya). Saking senangnya, saya akan selalu bersorak girang, saat menemukan buku hasil karangan komedian manapun.

Sorak girang yang sama, saat saya menemukan 700 Sundays.
Karena saya sudah jatuh cinta pada akting Billy Crystal, sejak menonton film Analyze This dan Analyze That. Dimana dalam film komedi itu, pria berperawakan mungil ini berperan sebagai terapis seorang mafia yang berniat pensiun (diperankan oleh Robert DeNiro). Akting kocak ini pulalah yang juga memikat saya untuk menonton film komedi romantis When Harry Met Sally, dimana Billy beradu akting dengan Meg Ryan.

Dan saat membaca sampul bertuliskan resensi “700 Sundays is not the story of Billy’s great career. It is a tribute to a family and the people who helped make him a man,” seketika saya tahu, bahwa saya sudah jatuh cinta pada 700 Sundays.

Sejak halaman pertama.
***

Billy Crystal lahir pada hari Minggu, tanggal 14 Maret 1948 di Manhattan. Bersama ayah, ibu, dan kedua saudara lelakinya, mereka tinggal di rumah bernomor 549 East Park, Long Beach, Long Island.
Demi menafkahi keluarganya, ayah Billy menjalani dua pekerjaan. Dua pekerjaan inilah yang memaksa ayah Billy untuk bekerja sepanjang minggu—termasuk juga di malam akhir pekan.

Kecuali hari Minggu.

Karena pada hari itu, sang ayah akan pulang pada pukul 3-4 Minggu dini hari. Untuk kemudian, memainkan salah satu alat musik favoritnya—mandolin. Dimana Billy dan saudara-saudaranya dengan sabarnya akan menunggu di depan pintu kamar orang tua mereka, sampai sang ayah usai bermain mandolin, dan cukup beristirahat. Untuk kemudian, bangun dan memulai hari Minggu istimewa mereka.

“Sunday was our day for my two brothers and I to put on a show and make them laugh. Sunday was our day to go up on the boardwalk in Long Beach and play Skeeball or Fascination, go to the batting cage, play baseball, go bowling, or to the movies, even a Broadway show. Sunday night was our night to go out to eat together,” tulis Billy—yang karena bakatnya meniru mimik dijuluki “Face”—di halaman 14.
Ayah Billy meninggal pada saat Billy masih kecil. Saat itu, Billy baru berusia 15 tahun, dan baru memiliki 700 minggu yang dilewatkan bersama ayahnya. “That’s it. 700 Sundays. Not a lot of time for a kid to have with his dad,” tulisnya di halaman 15.
***

“Now you can’t pick the family that you’re born into. That’s just the roll of the dice. It’s just luck. But if I could pick these people, I would pick them over and over again because they were lunatics. Fun lunatics. What a crazy group of people, and great characters too. It was like the Star Wars bars, but everybody had accents,” demikianlah Billy menggambarkan keluarga besarnya di halaman 21.

Mulai dari nenek dari pihak ayahnya. Wanita bernama Sophie ini meninggalkan tanah kelahirannya, Kiev, Rusia, pada saat ia masih berusia 15 tahun. Saat dimana Sophie hanya pamit pada orang tuanya untuk berjalan-jalan, namun nyatanya malah meneruskan acara “jalan-jalan”nya ini ke Amerika.
Negara yang mempertemukannya dengan Julius, kakek Billy. Julius adalah seorang aktor dari teater Yiddish, dan bersama Sophie, mereka memainkan lakon King Lear dan Cordelia.

Masih ada lagi Bibi Lee, yang merupakan direktris bank pertama di Amerika. Juga Paman Sid Kasindorf, seorang penemu radio transistor. Atau sepupu Albert Parry (yang terlahir dengan nama Paretsky), yang menggandrungi Lenin sejak remaja. Dosen Russian Studies di Cornell University ini menulis sejumlah buku kontroversial mengenai Rusia. Atau Paman Berns yang memiliki galeri seni di Manhattan dan Paman Milt Gabler, seorang produser sebuah toko musik bernama Commodore Music Shop. Toko musik yang diwarisinya dari kakek Billy.

Tak ketinggalan, salah satu karakter favorit Billy, Bibi Sheila. Bibi yang bawel dan hobi bergosip ini, digambarkan Billy di halaman 56 dengan “I admire her, because she speaks the truth, and sometimes people don’t like to hear that truth, especially in families.”

Orang-orang hebat inilah yang mengisi hidup Billy. Mengajaknya nonton baseball di Yankee Stadium untuk pertama kalinya, menemaninya berjalan-jalan menyusuri terowongan bawah air, Midtown Tunnel. Mengajarinya tap-dance, mengenalkannya pada sejumlah musisi jazz, mengajarinya cara tampil di panggung sebagai MC.

Bahkan juga menemaninya sarapan.

Dimana Billy kecil akan duduk dekat-dekat kakeknya yang hanya mengenakan celana boxer.

Mendengarkan setiap patah kata dari cerita kakeknya semasa muda. Tentang perjuangan kakeknya yang sedikit demi sedikit menabung demi membeli sebuah toko, menyeberangi samudra Atlantik, hingga kini kembali bereuni di Amerika. Tentang kisah-kisah mengagumkan akar keluarganya, yang dikunyah Billy kecil dengan mulut ternganga.

Karena seperti yang dituliskan Billy di halaman 56. “Heroes don’t have to be public figures of any kind. Heroes are right in your family. There’s amazing stories in all of our families, you just have to ask, ‘And then what happened?’.”
***

Salah satu hobi saya, adalah memilah-milah bagian favorit dari buku yang sedang saya baca. Entah itu bab favorit, kalimat favorit, adegan favorit, imajinasi mimik dan suasana favorit. Apapun—yang bagi saya—terasa sekali ditulis dengan menggunakan hati.

Nah, dalam 700 Sundays, kalimat dan paragraf favorit saya tersebar di seluruh buku. Saya suka saat di halaman 84, Billy menuliskan hobi ayahnya dengan “He fell in love with two things: Dixieland jazz, and my mother.” Saya suka waktu Billy menggambarkan ibunya dengan “had a smile like Times Square.”

Saya suka waktu di halaman 158, Billy mengenang pertemuan pertamanya dengan istrinya, Janice. Saat itu adalah musim panas tahun 1966. Billy remaja dan temannya sedang berjalan-jalan di pantai Lido, Malibu, kala ia melihat Janice.
“I said, ‘I’m going to marry her’,” tulisnya. Betapa Billy menuliskan perasaan jatuh cintanya ini dengan “I was only eighteen and she was seventeen, but I wanted her forever. We were kids, but there was something about Janice that screamed at me, DON’T LET HER GO.”

Empat tahun kemudian, mereka menikah. Suatu pernikahan yang dituliskan Billy di halaman 160 dengan “We’ve been married thirty-five years now, so I guess I made the right decision.”
Namun, di halaman 177 lah, terletak bagian favorit saya sepanjang masa.

Yaitu pada suatu Minggu dini hari, saat Billy yang telah tinggal di Los Angeles menerima telpon tengah malam dari ibunya. Karena panik, Billy pun bertanya macam-macam. Yang dijawab ibunya dengan “I just wanted to hear your voice, Bill. That’s all. I woke up your brothers too, but I wanted to hear your voice.”

Saat itu, Ibu Billy mengaku tak bisa tidur. Dan Billy yang juga insomnia menulis “And I just wanted the conversation to keep going on, because these kinds of conversations with your parents are best when they’re not just your parents, but they feel like they’re your friends.”

Betapa Ibu Billy mengaku bahwa alasannya tak bisa tidur, adalah karena “I’m listening for you boys.” Dan Billy menulis “I knew exactly what she meant. The cry in the middle of the night, ‘Mommy, I have a fever.’ The nightmares, ‘Mommy, there are pirates in the room!’ Then, as they get older, the sound of their cars pulling up in the driveway, the jingle of their keys in the front door lock, just so you that know that they’re home safe. She was eighty-five years old now, alone in that house, her sons scattered across the country, but she was listening for us.”

Setahun setelah percakapan tengah malam ini, Ibu Billy meninggal dunia.
***

Ditinggalkan oleh anggota keluarga yang kita sayangi tak pernah menjadi hal yang mudah. Demikian juga dengan seorang Billy Crystal. Pada saat ayahnya meninggal, seorang paman mencoba menguatkan Billy. Ia adalah Zutty Singleton. Kutipan Zutty inilah yang dipajang Billy di halaman awal 700 Sundays. Sekaligus juga kutipan yang membantu menguatkannya saat sang ibu menyusul meninggal.

“Consider the rose…The rose is the sweetest smelling flower of all, and it’s the most beautiful because it’s the most simple, right? But sometimes, you got to clip the rose. you got to cut the rose back, so something sweeter smelling and stronger, and even more beautiful, will grow in its place.”
***

“700 Sundays is not a lot of time for a kid to have with his dad, but it was enough time to get gits. Gifts that I keep unwrapping and sharing with my kids. Gifts of love, laughter, family, good food, Jews and jazz, brisket and bourbon, curveballs in the snow, Mickey Mantle, Billy Cosby, and ‘Consider the rose. Can you dig that? I knew that you could’.”

Satu kalimat epilog yang seketika membuat saya kembali melongok resensi singkat yang sempat membuat saya tersenyum saat membacanya.

“Personal, poignant, and funny, it will have you laughing out loud and sometimes crying—with the realization that Billy’s family is also yours.”

And yes, I couldn't agree more :).

***

0 komentar:

Posting Komentar