Senin, 24 Februari 2014

Jatuh Bangun Self-Publishing

            Dengan genggaman tangan di sebuah kamar kos-kosan, lima tahun lalu, pasangan pengantin baru itu mengukir mimpi. “Aku mau nyoba Dhe, nerbitin buku sendiri,” ujar sang suami. Diamini anggukan sang istri, tangan mereka saling menggenggam menguatkan. Seulas senyum merekah di wajah mereka.

            Wajah kami: saya dan suami.

Proyek Persahabatan
Saya tak pernah punya impian raksasa.
Pada tahun 2008, suami saya meminjamkan mimpi, yaitu menerbitkan buku sendiri (self-publishing). Bekerja sebagai editor suatu penerbit buku pelajaran, beliau telah lama memelajari seluk beluk penerbitan. Mulai dari mengemas naskah, menyunting, merancang sampul, sampai hitung-menghitung ongkos cetak dan estimasi keuntungan.
Sebagai langkah awal, kami menyeleksi sejumlah esai yang pernah saya posting di blog Friendster. Untuk memperkaya warna ‘calon bayi buku kami’, saya pun melibatkan dua orang sahabat: Airin Nisa dan Shinta Anita. 
Pilihan ini bukan acak. Terdaftar sebagai mahasiswi jurusan Komunikasi FISIP UI pada tahun 2002, saya, Ain dan Shinta kerap berkecimpung dalam wadah sama: majalah jurusan, aktivitas kerohanian, diskusi, dan tugas kelompok. Diam-diam, saya mengagumi tulisan-tulisan mereka.
Gayung bersambut. Surel lamaran saya mengajak mereka bergabung menulis dibalas dengan tangan terbuka. Namun karena kala itu Ain tengah sibuk mempersiapkan pernikahan dan Shinta bermukim di Singapura, mereka menyerahkan kendali pada saya dan suami. Atas izin mereka, saya pun melakukan seleksi. Secara garis besar, dasar penyeleksian saya saat itu: kisah yang tak terlalu personal, dan insya Allah bermanfaat bagi orang lain.
Rampung seleksi, tahapan selanjutnya adalah kategorisasi naskah. Saya tak pernah memelajari teori kategorisasi, namun pada dasarnya, tulisan saya kelompokkan berdasarkan tema dan ruh. Kemudian, diurutkan dari awal sampai akhir, dengan alur mood yang sebisa mungkin menyamankan pembaca. Misalnya dengan menempatkan tulisan ringan di bagian awal, dan tulisan yang menumbuhkan harapan di bagian akhir.
Ide sampul, judul dan judul bab sendiri bisa dibilang muncul secara pop up. Saat melihat sampul buku Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert, seketika di kepala saya terbayang konsep sampul buku kami: sederhana, bersih, sekaligus feminin. Karena bagi saya konsep keseluruhan buku ini adalah hal-hal yang kami diskusikan sebagai sahabat, maka saya memilih cangkir kopi sebagai unsur utama sampul. Alasannya sederhana saja: umumnya orang mengobrol sambil ngopi. Dari kata obrol pula, terbetiklah judul “Let’s talk about..”
Kentalnya atmosfer persahabatan buku ini membuat saya memilih Yena Badruddin sebagai desainer sampul. Sahabat saya yang ini sejak dulu piawai menangani sampul dan desain majalah kampus.
Pun menjadi seksi repot, tak berarti semua kredit milik saya. Secara kekeluargaan, saya pun mendiskusikan nominal dari artikel Ain dan Shinta yang saya pilih untuk beli putus. Demikian juga dengan honor desain sampul karya Yena. Terus terang saya sampaikan bahwa kami belum sanggup membayar dengan sistem royalti.
Yang membuat saya haru adalah diskusi tentang nama yang tercantum di sampul buku. Dengan tulus, sahabat-sahabat saya ini bersepakat: “Nama No' aja yang di depan. No' kan udah repot ngurus semua-muanya.”
Ah, bahkan setelah lima tahun berselang, air mata saya masih menetes mengenang ini.

Belajar Hal-hal Baru
Sementara naskah mulai dilay out, saya berburu endorser. Dengan menghubungi sejumlah teman penulis dan editor, saya pun mengirimkan via surel naskah buku kami. Berbekal data sejumlah kontak artis yang saya peroleh saat dulu bekerja sebagai wartawan, saya juga menghubungi sejumlah selebritis.
Dari sekian nama yang saya hubungi, ada yang tak menanggapi. Ada pula yang sempat menanggapi dengan memberikan alamat, namun tak memberikan kabar lebih lanjut. Namun alhamdulillah, dari sekian nama tersebut, Mas Indra Bekti dan Mbak Olga Lydia menyanggupi untuk memberikan endorse. Tak lama berselang, Mas Rudi Dahlan dari Female Radio juga sempat melakukan wawancara on-air tentang proses terbitnya buku ini.
Hal baru yang juga saya dan suami pelajari bersama adalah memilih percetakan. Sementara suami survey percetakan dengan terjun langsung di daerah Senen, saya—yang tengah hamil muda saat itu—survey percetakan dengan menelpon dan berkirim surel pada belasan percetakan di Jakarta.
Percetakan idaman memang menawarkan kualitas cetak jempolan, namun ongkos cetaknya mahal bukan kepalang. Karena kami ingin buku ini terdistribusi ke seluruh Indonesia, kami bersepakat dengan suatu distributor untuk mencetak sebanyak 3 ribu eksemplar. Dengan 3 ribu eksemplar, ongkos cetak Rp 10 ribu-Rp 15 ribu per eksemplar (total sekitar Rp 30 juta-Rp 45 juta) sungguh di luar kemampuan.
Beberapa minggu pencarian, kami pun menemukan suatu percetakan yang relatif murah. Kualitas cetaknya memang tak secantik percetakan idaman. Namun hasil cetak masih bersih, layak baca, layak tampil untuk display, dengan ongkos cetak sekitar Rp 6 ribu/ eks.
Bismillah, pilihan pun dijatuhkan.

Sejumlah Ujian
Ujian pertama mimpi kami adalah kemalingan.
Tape radio, tabung gas, dompet, buku tabungan, dan sebuah notebook seken, raib digondol maling pada Januari 2009. Padahal notebook inilah satu-satunya media untuk mengetik di rumah. Walhasil, selama setahun kemudian, saya dan suami mengetik di komputer kantor. Saat saya kemudian undur diri dari kantor karena hamil, saya menulis tangan di rumah. Tulisan tangan itu diketik suami saat beliau istirahat, dan dibawa pulang ke rumah. Alhamdulillah 'alaa kulli haal. 
Betapapun, alhamdulillah, semua data seputar naskah buku ini telah di-back up, sehingga tanpa notebook pun proses masih bisa berjalan. Pada Maret 2009, lahirlah ‘bayi pertama’ kami: “Let’s Talk about: Friendship, Love and Marriage, Ordinary Miracles.”(LTA)
Di tengah selimut bahagia, ujian kedua menghadang di depan mata: pelunasan ongkos cetak. Dengan ongkos cetak Rp 6 ribu/ eks sebanyak 3 ribu eksempar, total tagihan ongkos cetak kami adalah Rp 18 juta. Angka yang jauh melampaui saldo rekening tabungan kami.
Dengan berat hati, kami memutuskan berutang. Setelah mengajukan berkas permohonan pinjaman pada suatu koperasi, kami pun mendapatkan pinjaman. Syaratnya, pinjaman lunas dalam tempo 14 bulan. Padahal dengan kondisi saya tak lagi bekerja, otomatis pemasukan berkurang. Sementara laporan penjualan dan pembayaran pertama dari distributor baru diterima dua bulan kemudian. Jadilah kami lintang pukang mencicil pinjaman dan menutup pengeluaran.
Satu yang kami yakini: di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Fa innamal usri yusro. Di balik kesulitan, ada kemudahan. Insya Allah.
Jendela harapan itu terbuka pada laporan penjualan bulan kedua. Jika pada bulan pertama, buku kami hanya laku 5 eks, maka pada bulan berikutnya, laku 700 eks. Tak henti kami mengucap syukur pada Allah: Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah.

Self-Publishing = Self-Learning
Lima tahun berselang sejak saya dan suami bermimpi menerbitkan buku sendiri. Alhamdulillah, dalam kurun dua tahun, LTA laku sekitar 2800 eksemplar. Dari uang hasil penjualan tersebut, pinjaman telah dilunasi, modal telah kembali, dan kami telah membeli notebook pengganti. Kami juga mendirikan Jasa Penerbitan HalamanMoeka untuk membantu para penulis yang ingin menerbitkan sendiri. 
Banyak hal yang kami pelajari dalam proses ini. Mulai dari seputar mengemas naskah, memilih kertas, menentukan oplah cetak, memilih percetakan, memilih distributor, sampai jadi EO dadakan dengan menggelar bedah buku minim biaya. Betapapun, bagi saya, self-publishing bukanlah kibaran bendera perang pada dunia penerbitan.
Self-publishing adalah alternatif pilihan untuk mengeksplorasi potensi diri. Mulai dari kreativitas menghemat ongkos produksi dan promosi, kepekaan visual merancang sampul buku, sampai ketajaman insting untuk meraba selera pembaca.
Juga pelajaran untuk: berani bermimpi. Insya Allah. 
***

Hal-hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam Self-Publishing

Lima tahun menjalani self-publishing sekaligus melayani jasa penerbitan bagi para self-publisher, belum menjadikan kami pakar memberikan tips dan trik. Namun, izinkan kami berbagi sekelumit hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam tahapan self-publishing. Yaitu:

  1. Penulisan naskah.
  2. Pengeditan.
  3. Lay out/ tata letak.
  4. Endorsement
  5. Pembuatan kaver
  6. Proofreading
  7. Pengurusan ISBN
Yang perlu disiapkan saat akan mengurus ISBN:
Ø  Surat pengantar (dengan kertas berkop) permohonan pengurusan ISBN
Ø  Cover
Ø  Kulit Ari/ Kulit perancis

  1. Cetak
Yang perlu dipertimbangkan saat mencetak buku:
Ø  Spesifikasi buku (ukuran, jenis kertas, finishing cover)
Ø  Oplah
Ø  Ongkos cetak
Ø  Wrapping/ bungkus plastik
Ø  Apakah sekalian dikirim? Berapa ongkir?

  1. Penentuan harga buku
Umumnya harga buku adalah 5-6 kali lipat dari ongkos cetak. Namun hendaknya, harga buku juga logis dan tak jauh beda dengan harga buku sejenis di pasaran.

  1. Distributor atau tanpa distributor?
Yang perlu dipertimbangkan saat akan menggunakan distributor:
Ø  Apakah jangkauan distribusinya nasional atau lokal (Jabodetabek saja, misalnya)?
Ø  Berapa jumlah minimal eksemplar yang diminta?
Ø  Berapa bagi hasil yang diminta?
Ø  Bagaimana system pembayarannya?
Ø  Bagaimana laporan penjualannya?
Ø  Cari testimoni pihak yang pernah menggunakan distributor tersebut. Puaskah mereka?
Ø  Apakah mereka memiliki website?
Ø  Sudah berapa jumlah klien mereka? Dan sudah berapa lama mereka berdiri?
Ø  Apa saja jaringan toko buku mereka?

11. Promosi
Alternatif promosi:
-          Jejaring sosial: Facebook, Twitter, Instagram, Path
-          Website
Yang perlu dipertimbangkan saat akan membuat website:
Ø  Nama penulis
Ø  Judul buku
Ø  Gambar cover buku
Ø  Sinopsis singkat buku
Ø  Endorsement/ testimoni pembaca
Ø  Dimana buku bisa diperoleh
Ø  Harga buku
Ø  Profil singkat penulis dan kontaknya

-          On air gratis di radio (DFM)
Ø  Hubungi CP radio yang bersangkutan
Ø  Kirimkan 1 sampel buku
Ø  Minta jadwal on air
Ø  Siapkan beberapa buku untuk hadiah bagi pendengar (umumnya 4-5 buku)
Ø  Lakukan woro-woro sebelum dan sesudah on air

-          Launching buku
Ø  Survey tempat minim biaya untuk launching
Ø  Siapkan peralatan, ex: spanduk/ standing banner, kursi, sound system
Ø  Siapkan pembicara, moderator, TOR Diskusi
Ø  Kirim undangan untuk pers minimal seminggu sebelumnya. Sertakan synopsis, cover buku, dan endorsement
Ø  Buat pers release
Ø  Siapkan buku gratis untuk direview pers yang datang
-          Kuis 

  1. Marketing
-          Direct selling
Yang perlu dipertimbangkan saat direct selling:
Ø  Alamat kontak dan cara membeli
Ø  Kepuasan pelanggan
Ø  Kerjasama dengan berbagai pihak potensial yang sesuai target market
-          Konsinyasi di toko buku via distributor
-          Konsinyasi di toko buku via toko buku independent (ex: Aksara, Leksika, dll)
Yang perlu dipertimbangkan saat titip jual ke toko buku independent:
Ø  Berapa jumlah minimal yang bisa dititipkan?
Ø  Berapa mereka akan meminta bagi hasil?
Ø  Bagaimana laporan penjualan akan diperoleh? (via imel/ faks/ Anda harus datang sendiri?)
Ø  Untuk berapa lama, buku Anda akan bisa berada di sana?


  1. Jangan lupa beramal:
-          Kirimkan versi word ke Mitra Netra (yayasan khusus tuna netra): http://mitranetra.or.id
-          Sumbangkan beberapa eks untuk perpustakaan wilayah dan taman bacaan di wilayah Anda





0 komentar:

Posting Komentar