Kamis, 24 Oktober 2013

Mengelola Banjir Order

Event obral selalu jadi masa-masa tersibuk saya mengelola toko buku online. Misalnya event Online Bookfair 2013. Dengan harga buku sama seperti harga pameran offline yang biasa digelar di Senayan, para pembeli pun bersemangat meng-order. 
Tidak hanya pembeli dari luar Jakarta, para pembeli yang berada di Jakarta dan tak sempat belanja buku di pameran buku offline pun ikut pesan. Online Bookfair sendiri hanya diikuti sejumlah toko buku online yang diundang penerbit—tahun ini diikuti oleh 8 toko buku online, termasuk kami.  Dan di hari ke-5 dibukanya Online Bookfair 2013, kami menerima pesanan sekitar 1300-an eks buku. Alhamdulillah, di akhir event, kami meraih omset 261%.  
Selain Online Bookfair, banjir pesanan juga kerap datang saat ada sejumlah event obral dari penerbit lain. Banjir pesanan ini juga perlu manajemen pengelolaan. Tahapan yang saya lakukan adalah:
  1. Mencatat semua pesanan pembeli berdasarkan nama dalam 1 dokumen word dengan penomoran otomatis. Misalnya:  Ali pesan 5 buku yaitu: A, B, C, D. Ami pesan 17 buku: A, B, C, D, dst. Ani  pesan 48 buku, dll. Bahkan pembeli yang hanya pesan 1 buku pun tetap saya catat di sini, karena saya pikir sungguh tak efisien jika saya harus ubek-ubek PM atau search di grup.  Selain buku, saya juga menjual pernak-pernik bahan prakarya, kaos polo, dewasa, kaos polo anak, serta kaos polos. Aneka pesanan pembeli selain buku ini juga sekalian saya masukkan di daftar. Prinsipnya, agar saat mengecek pesanan, saya cukup melihat dokumen itu saja.
  2. Mengurutkan nama pembeli secara alfabetis. Tahun pertama mengelola Online Bookfair, saya mengurutkan pembeli berdasarkan tanggal saya pesan ke penerbit—yang ternyata tak efisien bagi saya karena selalu ada kemungkinan pembeli yang sudah saya pesankan, masih mau nambah pesanan. Mengurutkan secara alfabetis membuat saya berpikir secara runut. 
  3. Tidak menunggu rekap pembeli. Di seputar pemesanan buku memang saya sebutkan, rekap pesanan dikerjakan pembeli. Dan sebagian besar pembeli memang melakukannya, sebagian bahkan mengirimnya dalam daftar excel yang sudah disertai dengan total jumlah. Namun, ada kalanya pembeli sibuk dan tak sempat merekap. Di sisi lain, saya pikir, merekap oleh dua kepala akan selalu lebih baik ketimbang satu kepala karena kita bisa cek dan ricek. 
  4. Merekap pesanan dengan copy-paste judul buku yang dikomeni pembeli. Jadi misalkan buku X, dikomeni oleh pembeli A,B,C,D. Judul buku X saya copy, lalu saya paste dalam dokumen word pesanan pembeli, sesuai nama pemesan. Karena saya berinteraksi dengan pembeli menggunakan format grup FB, maka untuk mengecek notifikasi terbaru, saya tinggal scroll down. 
  5. Mengumpulkan data pesanan pembeli dalam 1 folder dengan nama folder: Order OL Bookfair Mei-Juni 2013. Untuk pembeli yang pesan dalam format excel, nama filenya saya rename dengan format: nama pembeli, order. 
  6. Memprint dokumen pesanan pembeli, sebelum memesan ke penerbit—sambil membuka file dokumen tersebut di word. Format pesanan kami ke penerbit berupa file excel. Untuk judul buku yang hanya dipesan 1 eks (artinya hanya dipesan oleh 1 pembeli dan tidak ada pembeli lain yang pesan buku tsb, judul buku tsb bisa langsung saya copas ke file pesanan ke penerbit.) Lain hal jika 1 buku dipesan 50 eks. Yang saya lakukan adalah: menghitung secara manual berdasarkan dokumen yang saya print. Alternatif lainnya: membuat tabel judul buku laris di excel. Jadi, untuk buku X, saya urutkan siapa saja pemesannya dan berapa. Di akhir tabel, saya tinggal count sum dan dapat total jumlah pesanan buku X. Namun, terus terang, saya tidak punya cukup waktu untuk membuat tabel begini untuk setiap judul buku. Online Bookfair sendiri menawarkan sekitar 1200-an judul.   
  7. Saat pesanan buku dari penerbit datang, yang pertama saya lakukan adalah menumpuknya sesuai judul. Untuk judul buku yang hanya ada 1 eks, saya tumpukkan dalam kategori  uncategorized—untuk didata nanti.
  8. Nah, dengan print out dokumen pesanan pembeli, saya mulai mengambil buku dari aneka tumpukan per judul tadi. Misalkan A mau buku C 3 eks, B mau buku C 8 eks, maka saya ambil 11 eks dan tumpuk sesuai pesanan pembeli. Di buku paling atas saya tempel nama pembeli. Lalu, buku yang sudah ada di tumpukan, saya tandai dengan stabilo atau coret dengan spidol warna-warni. 
  9. Menyimpan pesanan pembeli di rak:

Meski saat banjir order, rak tak lagi cukup dan jadilah pesanan buku merambah lantai

  1. Untuk pembeli yang pesanannya baru siap 1 judul, buku tersebut saya tempeli nama pemesan lalu saya pisahkan dalam kardus khusus. 
  2. Tentu saja, situasi tidak selalu berjalan ideal. Tentang urusan mengambil buku, misalnya. Di sela-sela kesibukan mengelola jasa penerbitan buku, suami saya membantu mengambil buku pesanan ke penerbit-penerbit. Namun beliau hanya mampu mengangkut 1 kardus besar sekali jalan naik motor. Pernah, beliau terpaksa meninggalkan kardus lainnya di penerbit. Karena tanggal merah, saya kontak Mbak PIC untuk menanyakan, bisakah kardus dititip di kantor satpam dan kami ambil di sana saat kantor libur. Pernah pula, saya dan anak-anak naik KRL pagi untuk mengambil 5 kardus buku di penerbit. Karena tidak ada pengasuh, anak-anak saya juga kerap tak betah ditinggal lama-lama untuk membungkusi paket, dan aneka kondisi tak ideal lainnya. Menghadapinya, saya melakukan sejumlah penyesuaian:
    • Mencicil mencatat alamat pembeli sambil buka PM/ email pembeli saat merekap. Idealnya, alamat dan nama pembeli memang saya data dalam 1 file excel khusus jadi tinggal saya copas. Saat  ini anggota Komunitas HalamanMoeka ada 500-an orang. Saya sendiri pernah mendata nama & alamat pembeli sampai sekitar 300-an orang, dan belum mengupdatenya lagi karena alasan klasik: tidak sempat. 
    • Tidak saklek. Jadi misalnya begini, pesanan pembeli A sudah hampir lengkap kecuali 1 buku X. Nah, buku X ini tadi ada di tumpukan buku pembeli B. Maka yang saya lakukan adalah mengambil buku X dari B, packing buku A, dan memesankan buku X ke penerbit untuk B. Ini kerap saya lakukan saat banjir order. Karena ruang penyimpanan buku—yang juga merangkap ruang kerja suami, spacenya terbatas, target saya adalah: mengirim duluan pesanan yang sudah lengkap. Pembeli yang sudah dikirimi pesanannya, saya delete dari dokumen daftar pemesan. Untuk pembeli yang mengirim pesanan dalam format excel dan minta dikirimi sebagian buku yang sudah siap, buku-buku tsb saya delete dari daftar, sehingga langsung tampak total tagihan untuk berikutnya. Sebenarnya bisa saja sih saya hanya mencoretnya dari print out. Namun mendelete begini secara psikologis membuat saya berpikir “Hore, kerjaan berkurang!”—at least, it works for me. Untuk print out sendiri, saya memilih untuk memprint lagi yang lebih update. Dan kertas lama saya tumpuk di kardus khusus kertas bekas untuk Hana coret-coret atau gambar-gambar. 
    • Tidak saklek tentang manajemen waktu. Idealnya bagi saya, urusan toko buku online saya kerjakan saat anak-anak tidur siang. Namun saat banjir order, saya akan bilang pada Hana “Mama lagi banyak pesanan. Mama bungkus-bungkus dulu ya. Hana main-main sama Adek dulu ya.”—yang penting, anak-anak sudah makan. 
    • Sesekali, melibatkan anak saya dalam tugas sederhana. Saat dia mendatangi saya yang sedang bungkus-bungkus, saya juga sering minta tolong hal-hal kecil seperti: menahankan kertas saat saya hendak menyelotip, atau membantu menyelotip nama pembeli dengan selotip yang sudah saya gunting. Usai membantu, tak lupa saya bilang “Terima kasih Hana, sudah membantu Mama. Mama sangat tertolong, kerjaan Mama tinggal sedikit deh!”
    • Tak segan mem-PM pembeli untuk cek ricek pesanan. Saya tidak malu membuka kalimat dengan “Maafkan ingatan saya, tapi apa Mbak sudah saya kirimi buku X? Cmiiw. Terima kasih.”
    • Menyesuaikan dengan kapasitas diri. Mata saya adalah mata visual, bukan mata teks. Saya lebih mudah mengingat gambar ketimbang judul. Jadi, saya sering mengandalkan kemampuan mengingat gambar sampul buku saat mengecek pesanan, maupun hunting buku. 
    • Usai event, biasanya saya menghadiahi diri sendiri cuti beberapa hari. Sebelum cuti, saya juga umumkan di grup, bahwa saya tak menerima pesanan dulu sampai masa cuti usai. Mungkin ada yang merasa janggal karena “Itu kan tobuk online punya Retno sendiri, kok cuti?” Justru karena ini usaha milik saya sendirilah, saya bisa memutuskan cuti kapanpun saya perlu—tidak seperti aneka profesi lain yang pernah saya jalani. 
    Well, ritme ini mungkin tidak sempurna, tapi so far so good—I think :)

2 komentar:

audelia agustine mengatakan...

Suka sekali dengan posting ini. Beberapa kali terpikir mau buka toko online, tapi suka terbentur dgn pertanyaan"kalo banyak pesanan gimana ya manajemennya"...ternyata emang bener ribet yah.Tapi ada harga yg harus dibayar toh utk segala sesuatu... bravo Mba Retno!

retnadi mengatakan...

imho, setiap pekerjaan pasti ada aja ribetnya sih mbak :D tapi tobuk ol itu sudah tutup sejak 7/12/2013. makasih udah mampir ya :)

Posting Komentar